O N E
Pangeran Bernomor Punggung 5Bahkan ilalang ikut tersenyum seiring degup yang meletup karena tingkahmu.
**
Kala itu senja hampir menyapa, Karen melangkahkan kakinya perlahan, menikmati hembusan angin yang membelai helaian rambut lurusnya. Berkali-kali ia menarik nafas dan menghembuskannya keras. Sekolah sudah sepi, wajar saja. Bel pulang telah dibunyikan 2 jam yang lalu. Jika bukan karena kakaknya yang menyebalkan, ia pasti sudah bergelung di bawah selimut yang hangat.
Karen sudah lelah menunggu Karel --kakak laki-lakinya-- yang sedang berganti pakaian sehabis bermain basket.
Duk
Sebuah bola basket bergelinding dan terhenti tepat di depan sepatu putihnya yang mulai lusuh. Dari jarak yang lumayan jauh, seorang laki-laki bernomor punggung 5 berlari dan meraih bola tersebut. Tatapan mereka bertemu. Saat sang lelaki mendongak, memperlihatkan wajah tegasnya. Hanya sekejab, lalu lelaki tersebut kembali ke arah lapangan.
Karen tertunduk merutuki jantungnya yang tiba-tiba berpacu dengan cepat. "Karen? Buruan, mau hujan nih."
Ia tersentak, memandang Karel yang sudah menaiki sepedanya di dekat gerbang. Karen mendengus, melangkah dengan tergesa.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, otaknya penuh tanda tanya. Siapa nama lelaki bernomor punggung 5 itu?
**
Kelas begitu riuh setelah ketua kelas mengumumkan absennya guru yang harusnya mengajar saat ini. "Eh dengerin dulu kalik. Tapi ada tugas. Kerjain sama temen sebangku, di kumpulin hari ini."
"Yahh." Semua siswa berucap serentak dan mulai mengerjakan tugas dengan wajah masam.
Karen membaca soal pertama dengan serius. Sedangkan teman sebangkunya, Tasya malah menelungkupkan kepala dan memasang earphone.
"Tasya, ih. Jangan tidur. Bantuin gue elah," ucap Karen berusaha membangunkan sahabatnya itu.
Tasya mendongak, merasa kasihan melihat wajah memelas teman sebangkunya. Ia menghela nafas, sepertinya kegiatan tidurnya akan ditunda hingga tugas selesai.
"Sya, lo suka nonton anak basket latihan kan?" tanya Karen di sela-sela mengerjakan soal.
Tasya mengangguk, "Iya. Kenapa? Biasanya lo gak peduli sama para cogan basket."
Sudah rahasia umum jika Tasya sering kali menghabiskan waktu untuk melihat para cowok berlari dan merebut bola merah di lapangan. Tiap ditanya alasannya Tasya selalu menjawab, cuci mata.
"Lo tau gak cowok yang nomor punggungnya 5 itu?"
"Emm. Bentar, gue inget-inget." Karen mendengus. "Gue tau. Maksud lo itu Fian kan?"
"Fian? Fian siapa?"
Tasya memutar bola matanya jengah. "Kan tadi lo nanya. Setahu gue nomor punggung 5 itu Fian. Alfian Januar. Anak kelas sebelah kok."
Karen tersenyum, "Fian ya." cicitnya.
"Jangan bilang lo suka sama dia?" Tasya memicing, berusaha menerka apa yang ada di benak sahabatnya.
Yang ditanya hanya mendengus dan kembali mengarahkan perhatian pada soal keempat.
"Fian itu tinggi ya, manis lagi. Kayak tebu."
Tasya terheran sejenak, setelah beberapa saat ia tergelak begitu kencang. Beberapa siswa di kelas jadi mengarahkan perhatian kepadanya. Sebagian memandang dengan kesal. "Maaf maaf," ucap Tasya sambil nyengir lebar.
Pandangannya kembali mengarah pada Karen. "Lo ada-ada aja sih. Masa si Fian di samain sama tebu, bahan dasar gula."
"Yauda sih. Terserah gue." Karen mencebik.
"Ya. Bolehlah selera lo. Gue pikir lo gak bakal naksir cowok manapun sampe lulus SMA. Kakak lo protektif gitu."
"Makanya, jangan sampe kak Karel tau. Jadi tebu nama samarannya."
Tasya kembali tergelak, "Gile. Nama samaran, kek penjual bakso boraks aja namanya disamarin."
Dihiraukannya ucapan Tasya yang terkesan mengada-ada. "Nah tugasnya udah nih, Sya. Ke kantin yuk. Laper gue."
Tasya mengangguk dengan semangat. Mereka duduk di ujung, suasana kantin masih lenggang. Wajar saja, istirahat masih kurang 5 menit lagi. Setelah memesan makanan masing-masing, Tasya sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Karen mengedarkan pandangan ke penjuru kantin. Tatapannya terhenti di arah jam dua.
Dia disana. Berjalan memasuki kantin sambil bercakap dengan teman-temannya. Rambutnya yang berantakan, hidung mancungnya, mata tegasnya, apalagi lesung pipi saat ia tersenyum. Senyum yang pertama kali dilihat Karen. Manis banget, ngalahin sirup marjan aja.
"Kar, makan noh. Kalo gamau buat gue," ucap Tasya membuyarkan pikirannya.
Karen makan dalam diam, pikirannya mengelana jauh.
"Karen?"
Ia mendongak saat Azil sudah berada di dekatnya. "Apa?"
"Gue sama temen-temen gue boleh disini gak? Yang lain penuh," ucap Azil memohon.
Karen mengangguk. Azil dan teman-temannya pun duduk di sebelah Karen dan Tasya. Seseorang menarik kursi di sebelah Karen, ia menoleh dan tersedak makanannya. Begitu kaget ternyata Tebunya yang duduk disana. Azil yang berada di depannya cepat-cepat menyodorkan air. "Makannya pelan aja. Gue gak minta kok," ucap Azil sambil tersenyum.
"Modus lo Zil. Udah mantan juga," cibir Tasya. Ya. Azra pernah menjalin hubungan dengan Karen, namun tak berlangsung lama karena Karel yang overprotektif dan membuat hubungan keduanya kandas begitu saja.
Karen tersenyum masam dan menoleh ke arah Fian, ingin tahu reaksi lelaki tersebut. Fian terlihat tak acuh, bahkan senyumnya tak lagi tampak saat teman-temannya bercanda ria.
"Gue ke kelas duluan. Ada tugas yang belum selesai," ucap Fian berpamitan dengan nada datar kemudian berlalu.
Yang lain hanya mengangguk tak acuh. Namun Karen tak bisa mengalihkan pandangan pada punggung tegap yang semakin menjauh.
"Gak usah heran. Fian emang cuek sama cewek." Yoga berucap seakan mengerti apa yang di pikirkan Karen.
Ia mengangguk, dan meminum teh kemasan miliknya dengan perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakuna
Teen FictionKarenina berpura-pura, hingga ia lupa bahwa sebenarnya ia sedang berpura-pura. Lain lagi dengan Adit. Ia bersembunyi, hingga hilang arah dan menyesal telah bersembunyi. Lalu, Fian. Yang coba berlari, hingga terjatuh dan tak lagi berlari pada hal yan...