*Molly Point of View*
Aku terpaku, terpana, terpesona, tercengang, ternganga, melihat Michael menyanyikan lagu I Won't Give Up di hadapanku. Satu per satu senar gitar dipetiknya, dia bernyanyi dengan hati, wajar saja jika aku hampir gila mendengarnya.
Bayangkan jika kalian ada di posisiku saat ini, kekasih yang kau cintai menyanyikan sebuah lagu yang begitu mengena dihati untukmu.
Hanya untukmu.
Bukankah kalian juga akan melayang sepertiku? Berlebihan memang, namun pujian seperti itu kurasa tidak ada artinya apa-apa bila dibanding ketulusannya dalam menyanyikan lagu itu untukku. Pujian itu tidak berarti jika dilihat betapa dia begitu setia menemaniku selama hampir delapan tahun.
Delapan tahun. Bukanlah waktu yang singkat, itu sangat lama. Kami sudah saling kenal sejak masih duduk dibangku SMA.
Waktu itu kami teman satu kelas, sejak semester pertama kami duduk dibangku SMA dia sudah mengatakan rasa ketertarikannya padaku, namun aku belum berani bermain dengan perasaan, aku hanyalah gadis polos bahkan teman-temanku sangat segan padaku karena kepolosan dan kepandaianku.
Pada akhirnya aku hanya memutuskan untuk bersahabat dengannya dan tidak lebih. Dia selalu menjadi teman setiaku, kemana ada aku disitu pasti ada dia. Ketika aku sendiri, Mike pasti datang untuk menemaniku. Ketika aku sedih, hanya dia yang tahu bagaimana cara mengobati sedihku. Aku bahagia memiliki teman sepertinya.
Setelah kelulusan, kami sempat berpisah karena Mike harus melanjutkan S1-nya di Sydney dan aku tetap disini bersama orang tuaku dan saudara-saudaraku. Mereka tidak ingin aku jauh dari mereka, harap maklum aku anak perempuan satu-satunya dikeluargaku.
Aku sempat mengira, setelah kami berpisah Mike akan lupa padaku dan akan menemukan teman barunya, bahkan kekasih baru. Ternyata perkiraan salah, walaupun jarak kami terpisah jauh, kami selalu berkomunikasi. Setiap hari aku dan Mike selalu berkomunikasi, selalu bercakap-cakap lewat Skype, e-mail, sms, telepon, dan lain sebagainya.
Ketika persahabatan kami sudah menginjak tahun ke-5, ia mengunjungiku ke Los Angeles saat liburan. Ia menghabiskan libur semesternya bersamaku. Dan disaat itulah aku menerima tawarannya untuk menjadi kekasihnya.
Hubungan itu tetap berjalan hingga sekarang. Setelah dia menyelesaikan kuliahnya dia kembali ke Los Angeles untuk membangun kariernya disini, dan yang utama untuk menemuiku. Perlu kalian tahu, aku mencintainya, lebih dari hidupku sendiri. Apapun akan kuberikan padanya asalkan dia bahagia. Dari Michael-lah aku bisa merasakan apa yang namanya cinta, yang memberi tanpa mengharap balasan, yang selalu berusaha membuat pasangannya bahagia, yang selalu sabar menghadapi apapun sifat menjengkelkan dari pasangannya.
Aku bahagia karena sudah menjatuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku bahagia karena masa depanku akan segera menjadi milik Michael Gordon Clifford.
Aku mencintainya. Sangat.
Lagunya selesai. Michael menggenggam tanganku yang terpasang kabel infus dengan lembut.
"Segeralah pulang dan segera lanjutkan persiapan pertunangan kita, baby." Aku hanya tersenyum lesu menjawab permintaannya.
"Mom dad-ku sudah merindukan suaramu memenuhi rumahku, mereka merindukanmu." Dia menempelkan tanganku dipipinya.
Sudah satu minggu aku dirawat di rumah sakit, karena penyakit menyebalkan yang hinggap ditubuhku kembali kambuh. aku hanya memiliki satu ginjal dalam tubuhku, satu ginjal milikku sudah rusak dan harus dikeluarkan dari tubuhku. Dahulu aku pernah melakukan cangkok ginjal, namun ternyata itu tidak berhasil, dan sekarang beginilah aku, jika ada yang salah dengan pola hidup sehatku, ginjalku akan ngambek sewaktu-waktu.