Prologue

218 31 14
                                    

Ruangan lembab dan gelap menjadi tempat tinggalnya. Suara gemericik air menjadi musik di telinganya. Meja dengan tumpukan kertas yang berantakan, itulah tempat kerjanya. Berbagai macam kotak makanan siap saji kosong berserakan di lantai abu-abu suram dibawahnya. Lampu minyak usang, itulah penerangan satu-satunya di ruangan berukuran sedang itu.

Seorang pria duduk di tengah ruangan dengan kedua tangan memegangi kepalanya seakan-akan kepala bersurai pirang pendek itu akan meledak. Mata beriris biru menyala redup dengan kantung mata yang tebal menghiasi bagian bawah matanya. Kulitnya pucat karena lama belum terpapar sinar matahari. Jas putih panjangnya kusam dan tidak rapi. Stress menggerayangi pemuda dua puluh empat tahun itu. Pengetahuan yang didapatnya memang memuaskan kehausannya sebagai seorang ilmuan, tetapi membawa mimpi buruk terhadap jiwa kemanusiaannya.

Tak jauh dari ilmuan yang duduk termenung itu, asistennya berdiri di pojokan memandang punggung kakaknya yang terselimuti kabut stress tak kasat mata. Ia ingin membuka mulutnya namun ia tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Ia hanya dapat mengepalkan tangannya dan menggertakkan giginya. Tak lama kemudian, ilmuwan itu berdiri dan berjalan ke salah satu tabung berisi air berwarna hijau bening. Ia menarik napas perlahan dan menghembuskannya. Senyum kecil terukir di bibirnya. Suara bariton pun berkumandang di ruangan itu.

"Aku sepertinya memang harus pergi." Kata-kata singkatnya membuat si asisten muda hanya diam, tak berani berkomentar apapun.

"Aku harus menghentikannya sebelum semuanya terlambat. Aku harus bertindak sebelum kegilaan ini membunuhku," katanya lagi, "Kau mau membantuku, bukan?"

Suatu pertanyaan yang jelas-jelas terlontar ke asisten membuat iris hitamnya memandang si ilmuwan. Perempuan ini pun mengangguk lemah, tak sanggup menolak permintaan ilmuan jenius yang tak lain dan tak bukan adalah kakaknya sendiri.

Ilmuwan itu mengulum senyum lembut sambil mengucapkan terima kasih dan kemudian hilang, ditelan sinar redup lampu gantung ruangan persegi panjang itu, menyisakan jas putihnya saja di lantai gelap nan dingin itu.

****

Kejadian itu terus terngiang di kepala sang asisten. Iris gelapnya terpaku pada sesosok ciptaan Tuhan yang dikatakan paling sempurna. Di sebelah kanan tempat duduk si asisten, terpampang layar mungil yang memaparkan garis patah-patah naik turun yang teratur. Asisten tadi pun menurunkan kakinya yang keram karena telah terlipat selama berjam-jam. Wajah putih si asisten berpendar hijau muda akibat terpantul cahaya air bening hijau di delannya itu. Napas berat dihembuskannya perlahan dan perutnya sudah mulai bergemuruh, meminta untuk diisi. Baru saja si asisten beranjak berdiri, suara elektrik bising putus-putus keluar dari layar garis patah-patah itu. Garis itu tidak lagi teratur, sosok pria di dalam tabung berisi air itu mulai menggeliat tidak nyaman dan gelembung-gelembung udara keluar dari mulutnya yang setengah terbuka.

Asisten tadi pun dengan sigap mengetik sesuatu di keyboard kecil di bawah layar dengan cepat. Diambilnya layar geser di belakang layar garis patah-patah. Layar geser itu menampilkan suatu titik merah yang berpendar di garis-garis abstrak seperti map. Bintik merah itu perlahan meredup dan kemudian hilang. Suara elektrik putus-putus tak lagi terdengar, berganti dengan suara elektrik panjang. Layar tidak lagi menampakkan garis putus-putus, melainkan garis lurus panjang. Sosok pria di dalam tabung itu tidak lagi menggeliat, melainkan terdiam tak bergerak. Tak ada lagi gelembung mungil yang keluar dari mulut si pria. Pria itu mati meninggalkan adiknya yang hanya dapat menggertakkan gigi dan memukul lantai untuk sedikit meredakan stress.

Gadis itu tenggelam dalam kesedihan namun bukan berarti gadis itu menyerah. Iris gelapnya berkilat penuh ambisi. Ia berdiri dan berjalan menuju pintu besi tak jauh dari tempat ia duduk tadi. Gadis itu membuka pintu berat itu sehingga menimbulkan bunyi berderit kecil. Sebelum keluar, ia memandang sosok pria yang masih berada di dalam tabung itu dengan pandangan sayu dan berbisik,

"Tak akan kubiarkan usahamu berakhir sampai di sini, Onii-chan." dan pintu pun berdentum menutup.

¤¤¤¤¤

Connection is a nice thing. But if it brings a disaster, shall we severe it? No one knows the answer and no one will....

Baiklah.... Inilah Prolog untuk Elathor The Imaginary World :3 Mungkin sedikit membingungkan ya. Chapter satu akan saya publish dua minggu lagi, sekitar hari Sabtu atau Minggu. Dan.... Saya berpikir untuk hiatus sementara setelah saya publish chapter lima nanti. Selamat membaca ya~

Regards,
Blue_Sapphirine


Elathor The Imaginary WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang