Gadis itu bersembunyi dibalik sebuah pohon mahoni. Mata hitamnya sedang memantau seseorang. Sesekali ia mendecih. Tak jarang juga dia menggeram menahan kesal. Rambut pendeknya yang sekelam gelap malam itu melambai-lambai tertera angin. Seharusnya dia tidak disini. Iya, seharusnya dia tetap di kelas menunggu sampai orang itu datang. Namun hasratnya seakan menuntunnya kemari. Menyaksikan sesuatu yang tak dia inginkan, bahkan ia tak sekalipun menduga hal ini akan terjadi."Kei, apakah ini akan baik-baik saja?"
Gadis dengan rambut pirang sebahu itu bertanya ragu kepada pemuda tampan di hadapannya. Dia memainkan jari-jari tangannya. Kakinya bergerak dengan gelisah. Seperti berbicara bahwa tidak seharusnya gadis itu berdiri disini. Dadanya bergemuruh. Dia bimbang, takut, dan merasa bersalah. Perasaan yang membuatnya merasa begitu kejam. Memang seharusnya dia tidak disini. Iya.
Pemuda di hadapannya tersenyum lembut. Telapak tangannya mengusap puncak kepala gadis pirang tersebut. Sangat manis. Membuat pipi gadis itu merona. Seharusnya ini semua akan terasa indah. Iya, jika mereka adalah sepasang kekasih.
"Jika yang kau maksud baik-baik saja adalah hubungan yang sedang kita jalani, aku akan berusaha membuat ini semua akan menjadi seperti harapanmu." Pemuda itu tersenyum.
Si gadis manis tadi semakin gelisah, entah apa yang membuatnya begitu. Dia hanya merasa ini salah. Sangat salah.
"Ta-tapi, Kei.... "
Kei memeluk gadis itu. Kepala gadis itu terbenam di dalam pelukan Kei. Mukanya merah padam, dia memang gampang sekali merona jika diperlakukan seperti ini oleh Kei. Dan Kei senang akan itu.
Wajah Kei begitu tenang. Dia berkali-kali mengecup kepala gadis yang sedang dipeluknya. "Dengar, Fey. Aku sudah melakukan keinginanmu. Dan sekarang aku hanya ingin kau percaya padaku. Urusanku dengan gadis itu akan segera selesai dan setelahnya aku akan melamarmu."
Kei mengucapkannya tanpa ragu sedikitpun. Rasa cinta nya kepada gadis yang ia peluk ini memang sudah melewati takaran. Dia hanya ingin bersama dengan Fey. Bukan yang lain. Setelah semua sudah sesuai rencana, ia tak akan menunda untuk membawa Fey ke jenjang yang lebih serius. Ia sudah bertekad. Dan jika sudah begitu, tak akan ada yang boleh mencegahnya. Tidak walau seorang pun.
Fey terharu. Dia sangat bahagia. Dia gembira. Dia senang bukan main ketika Kei mengatakan janji manis itu. Dan dia senang bisa terlepas dari hubungan tanpa nama ini. Namun hatinya seakan menolak. Walaupun akalnya setuju, karena Fey memang sudah lama menunggu datangnya saat-saat ini. Tapi kata hati berkata lain. Ini bukan kepunyaan Fey. Fey tak patut mendapatkan kebahagiaan yang nantinya akan merusak kebahagiaan orang lain.
Seharusnya bukan begini.
Kei bernafas lega. Dia telah berjanji. Pelukan kedua insan berseragam kuliahan itu semakin erat. Sulit terlepas. Keduanya tak ingin melepaskan satu sama lain. Mungkin, seharusnya memang begini.
"Brengsek!"
Yuka mengumpat kesal. Gadis berambut hitam itu jatuh. Jatuh dalam arti sesungguhnya, dan jatuh dalam arti kiasan. Dia terduduk dengan punggungnya yang bersandar pada pohon mahoni. Kesakitan yang ia rasakan. Hanya sakit. Sakit. Sangat sakit.
Dia meremas dadanya yang sudah bergemuruh hebat sejak tadi. Kakinya menendang-nendang udara, kesal. Lama. Hanya bunyi angin yang menghembuskan dedaunan. Dan bunyi beburungan seakan ingin menyanyikan lagu senja. Dan beberapa sekon detik selanjutnya, terdengar isakan.
Yuka sudah tak bisa menahan. Dia sudah terisak. Pelan. Namun lama kelamaan semakin menyakitkan. Rambutnya yang pendek itu sudah tak tertata rapi lagi, melainkan berantakan. Dadanya semakin berdetak kencang, bukan tanda-tanda ia sedang jatuh cinta. Tetapi detakan yang berarti kan lain. Tentang kesakitan.