Prolog

92 5 0
                                    

"Aku melihat sesuatu," Laki-laki dengan setelan jas itu menyipitkan matanya. Tangan kanannya menyorotkan sinar biasan lampu senter ke sudut ruangan. "di ujung sana, aku melihat sesuatu"

"sebaiknya kau tidak mengada-ada, Zen. Itu tidak lucu sama sekali" suara seorang perempuan menimpali.

"apa kau takut?" Zen tersenyum. Ia melirik partner-nya dengan tatapan mengejek.

"tidak. Aku hanya benci menerima kenyataan bahwa kau bisa melihat makhluk lain."

"tenang saja. Kali ini bukan makhluk" Zen kemudian mendekati sudut ruangan tersebut. Tepat ketika ia akan sampai, sebuah suara muncul mengagetkan mereka.

"PERGI!"

Zen berdecak. Ia meraba dinding dan menemukan lubang di antara cat yang terkelupas di atas kayu pelapis yang lapuk. Segera ia ambil pisau kecil dari sakunya, lalu menusukkannya ke dinding tersebut hingga lubang di dinding tersebut membesar. Terlihat olehnya dan partner-nya, alat perekam suara yang disambungkan oleh sensor.

"PERGI!"

Suara itu muncul lagi, dari alat perekam suara yang dipegang hati-hati oleh Zen.

"nah, Ren, apa yang kau takutkan?" Zen tersenyum lagi ke arah partner-nya.

Ren menggeleng. Ia merengut, kesal karena dianggap penakut. Zen tidak mempedulikan tatapan Ren, dan mengirimkan pesan ke markas.

'operasi DG04 selesai, tidak ditemukan ancaman, laporan selesai.'

"sampai mana kita tadi?" Zen menaruh alat perekam suara tersebut ke plastik, sebagai barang bukti. Ren menggeleng heran.

"apanya?"

"pembicaraan kita sebelum ini"

"aku tidak mau mengingatnya." Ren menunduk, wajahnya memerah.

"tidak mungkin" Zen mendekatkan dirinya ke Ren. "ah, benar juga. Pesta itu"

"Zen, hentikan-"

Terlambat, Zen telah memeluknya erat. Rasanya hangat. Ren memeluknya balik dengan ragu. Bukankah mereka ada dalam satu misi? Tidak apa-apakah mereka seperti ini? Tapi Ren berusaha mengabaikannya. Sekali ini, saja. Ia ingin melepas dirinya dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh pusat. Ren ingin merasakan kehangatan itu.

Seperti di rumah.

Baru saja ia merasa nyaman berada dalam pelukan Zen, ia merasa sesuatu membuat partner-nya mendadak kaku. Ren tak bisa melihat ekspresi Zen, tapi ia yakin telah terjadi sesuatu di balik punggungnya. Ren menelan ludahnya. Zen sedikit melonggarkan pelukannya.

"sial," ia menggerutu. "maafkan aku"

DOR

Mulut Ren sedikit menganga, tangannya dipenuhi darah. Apakah itu sakit? Tidak. Karena darah itu bukan miliknya. Ia menutup mulutnya dengan tangan yang berlumur darah, berusaha tidak menangis. Ia seorang mata-mata, tidak mungkin bisa menangis.

Tapi ia menangis.

"Zen?"

*

PLOK PLOK PLOK

Tepuk tangan tiga kali, sambil mengunyah kacang pilus, dengan mata yang terbuka lebar. Ia masih terduduk di depan televisi yang melantunkan lagu penutup bersamaan dengan nama-nama aktor dan aktris beserta kru di balik layar, masih tak percaya.

"bagus sekali, bagus sekali" sebuah suara berkomentar. "inikah yang kamu kerjakan selama liburan?"

Ia menengok. Sosok tubuh jangkung itu menunjuk televisi dengan mulutnya. Si jangkung melirik yang duduk di depan televisi, tatapannya sedikit menyindir.

"memangnya kenapa?" yang disindir tidak menyadari nada sarkastik dari si jangkung. "tidak ada hubungannya dengan Kakak"

"memang tidak ada, kalau kamu tidak menonton acara yang sama dan berulang, selama berjam-jam."

"itu namanya nonton marathon"

"aku tidak bertanya namanya apa," si jangkung menghela napas. Adiknya memang sulit untuk ia pahami. "yang jelas, kamu hanya terpaku pada televisi. Cobalah sekali-kali kamu keluar, jalan-jalan..."

"tapi, bulan depan, season 6 mau ditayangkan. Aku harus me-review sebentar" ia masih bersikeras. Bukannya mengikuti saran kakaknya untuk bermain di luar, ia malah bangkit untuk menyetel episode selanjutnya.

"segitu sukanya kamu sama series itu?"

"ya, aku bangga menyebut diriku seorang fangirl."

"apa itu?" Kakaknya mengernyitkan dahi.

"...tidak perlu tahu"

"seminggu lagi kamu masuk sekolah, kan?" si Kakak hendak keluar dari kamar adiknya. Ia menutup pintu sambil berbisik—atau lebih tepatnya berdoa. "semoga kau menemukan hal baru yang berkesan tahun ini"

Lalu pintu tertutup.

Ia menunduk. Senyumnya mengembang, namun matanya sendu. Senyum pahit. Satu-satunya hal yang membuatku berkesan, apabila aku bisa bertemu dengannya.

Ia melirik poster di dinding seberang tempat tidurnya. Senyumnya menghilang.

Nathan Mahajana. Nama itu terlintas dalam pikirannya.

Betapa ia berharap bertemu dengan orang itu.

Namun dunianya dan dunia seorang Nathan sangat berbeda. Sampai kapan pun, ia hanya akan menjadi orang yang menatapnya dari jauh, mengaguminya dari jauh. Hanya menjadi seorang yang mendukung dengan penuh perasaan, tanpa digubris. Apa orang seperti Nathan tahu perasaannya? Apa seorang Nathan mengenal dirinya? Apa ia tahu akan keberadaan dirinya di dunia ini?

Gadis itu, Adinda Geniara Puti, tidak tahu bahwa tahun ini merupakan tahun yang akan membekas pada dirinya.

Ia hanya belum menyadarinya.


---

---

hello, I'm your (fan) girl

story by: Pudding

© 2015


hello I'm your (fan) girlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang