Four

13 1 1
                                    

"Ara, bisa bicara sebentar?"

Ara menelan ludahnya. Ia merapikan poninya, lalu mengangguk pelan. Nathan tersenyum menatapnya, lalu memberi isyarat keluar kelas. Dengan pasrah, Ara mengikuti Nathan.

Kenapa?

Pertanyaan itu berulang kali berputar di kepala Ara. Ara mulai merasa tak enak. Ia melirik punggung Nathan yang memimpin jalan mereka dengan tenang.

"kenapa, ya?" akhirnya, kalimat itu terlontar setelah mereka berada di luar kelas.

Nathan membasahi bibirnya, membuat Ara semakin tak karuan.

"soal kemarin, ya?" Ara menunduk. Wajahnya merah—antara menahan malu, menahan tangis, dan takut.

"tidak—well, sejujurnya iya"

Ara masih tak berani menengadahkan kepalanya. Ia meringis, "ada apa?"

Tak terdengar jawaban. Ara mulai heran. Ketika ia sedikit mengangkat wajahnya, tampak tangan Nathan berada di hadapannya, mengajak bersalaman.

"eh?" Ara menyalami Nathan ragu-ragu.

"senang bisa berkenalan denganmu" Nathan tersenyum dengan senyumannya yang seperti lolipop itu. Berhasil membuat Ara mulas.

"a-aku juga"

Nathan melepas tangannya. Ia menghela napas, "awalnya kupikir kau menyebalkan—tipikal seorang fangirl"

"menyebalkan?" Ara dapat mendengar suaranya agak meninggi.

"maksudku, berteriak, memanggil-panggil namaku, meminta berfoto atau tanda tangan—kau tahu, yang biasa dilakukan saat fan meeting"

"oh," Ara memiringkan kepalanya, "benarkah? Maksudku, kau tak suka dengan fans-mu sendiri?"

"bukannya tak suka—tapi agak tidak nyaman dengan beberapa yang terlalu fanatik" Nathan mengangkat bahunya. "lalu, aku bertemu denganmu dan kurasa kau cukup..."

"...aneh?" Ara menyambung kalimat Nathan yang terputus. Nathan menggeleng.

"...menyenangkan."

Ara terdiam. Ia tak perlu melihat cermin untuk memastikan bahwa wajahnya memerah.

Dirinya? Menyenangkan?

Mimpi apa ia semalam?

"kurasa aku tidak se-menyenangkan itu" Ara menggeleng cepat, khawatir kalau-kalau dirinya terlalu hanyut pada pembawaan Nathan, ia bisa benar-benar jatuh cinta.

Dan yang ia maksud dengan jatuh cinta adalah terjatuh karena cinta.

"kurasa kau cukup menyenangkan—walaupun agak kaku" Nathan memandangi kedua bola mata Ara lekat-lekat. Ara berusaha mengalihkan pembicaraan, namun tatapan Nathan seperti meminta untuk diperhatikan.

Ketika Ara mendapati jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya, ia segera mengalihkan pandangan ke arah pintu kelas. Tampak di hadapannya kini, Zea memandanginya takjub. Ara sedikit terkejut. Terlebih ketika ia menyadari bahwa mulut Zea tampak mengatakan sesuatu tanpa suara.

'k-a-m-u n-g-a-p-a-i-n?'

Ara menggeleng.

"Ara?" Nathan tiba-tiba memanggilnya lagi, "ada apa?"

"bukan apa-apa—aku cuma teringat, soal matematika tadi belum selesai aku kerjakan. Aku masuk duluan, ya" Ara segera menjauh, menyeret Zea dari TKP.

Bahaya.

Bahaya.

Bahaya.

Masih tak apa kalau ia digosipkan dengan Farhan—anak paling freak di kelas. Tapi ini Nathan. Seorang Nathan. Orang yang bukan sembarang orang. Orang paling tampan, paling pintar, paling...

...paling terkenal.

Mungkin Ara harus lebih bersyukur, karena Nathan merupakan idolanya sendiri. Ia seharusnya senang—bahkan sujud syukur bila bisa berbicara dengan Nathan, bahkan sampai digosipkan seperti ini. Tapi digosipkan dengan seorang artis bisa berakibat fatal, kecuali kau juga seorang artis.

"biar aku jelaskan dulu..."

"jelasin apanya?" Zea mendorong kacamatanya yang agak kendur.

"soal aku dan Nathan"

"memang ada apa dengan kau dan Nathan?"

"makanya aku mau jelasin, karena ini tidak seperti yang kau pikirkan" Ara memegang kedua pundak Zea.

"memangnya kau tahu apa yang kupikirkan?" Zea tersenyum penuh rahasia.

"kurasa aku tahu"

"bodoh, yang kulihat cuma kalian sedang mengobrol bersama, itu saja" senyum Zea mengembang lagi, "plus, aku tidak mendengar apa yang kalian bicarakan, jadi kurasa bukan hal yang penting bagiku"

Bibir Ara maju satu senti. "ah, Zea" rutuknya.

"jadi?"

"jadi apa?" bibir Ara kini semakin maju menjadi dua senti.

"tidak mungkin kau langsung panik begitu ketika kulihat kau dengan Nathan mengobrol kecuali karena satu hal."

"apa itu?" Ara penasaran.

Zea menggeleng sedikit kecewa, "kalau kukatakan, kau akan segera menyangkalnya"

"tidak."

Zea mendesah, "karena... kau menyukainya?"

"TIDAK" Ara menutup mulut Zea. Ia menggeleng keras-keras sampai kepalanya sendiri pusing. "astaga—tidak. Maksudku, ya. Tapi bukan 'suka' yang seperti itu..."

"lalu?" Zea berusaha melepaskan tangan Ara yang membekap mulutnya.

"kurasa kau benar, aku..."

"apa?"

"aku agak terpikat padanya"

***

AN/

Satu lagi chapter yang tidak jelas~

Maafkan Author yang sedang lelah karena tugas menumpuk ini ya...

Chapter kali ini dibikin karena lagi gabut dan bosan, jadi mohon dimaklumi kalau ada salah-salah kata~ cmiiw~

Jangan lupa vomment :3

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 25, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

hello I'm your (fan) girlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang