Three

14 3 0
                                    


Ara baru saja hendak membuka pintu kelas ketika seorang anak keluar dan nyaris menabraknya. Ia sempat memandangi Ara sebentar, lalu segera pergi. Ara awalnya tak mau memikirkan hal itu, jika saja gadis seumurannya tidak tiba-tiba mendatanginya yang masih bengong di depan pintu kelas.

"ke mana dia?"

"hah?" Ara menaikkan sebelah alisnya, "siapa?"

"Deva" gadis itu mulai tak sabaran.

"eh?"

"Deva"

"siapa?"

"De—astaga, why are you even trying?" ia mendorong Ara, lalu menengok ke sekitar. Ara masih tak mengerti, raut wajahnya menggambarkan hal itu dengan jelas.

Ara menggelengkan kepalanya. Ia pelan-pelan melewati si gadis dan mencari tempat duduknya. Matanya mengitari kelas, kemudian senyum lega tampak di wajahnya. Orang yang ia hindari sekaligus orang yang paling ia tunggu-tunggu ternyata belum datang.

"selamat pagi"

"ah, ya. Selamat pa—" Ara menengok ke sumber suara, lalu cepat-cepat memalingkan wajah. Ia menaruh tasnya ke sembarang meja.

BRAK

Sebuah buku tebal jatuh dari tas di meja sebelahnya. Tampaknya karena terdorong oleh tasnya. Dengan panik, Ara menunduk untuk mengambilnya. Tepat ketika sebuah tangan menyambar buku itu dan memberikannya pada Ara. Ara menengadah.

Wajah orang itu membuat Ara terlonjak, "astaga!"

Orang itu juga terlihat terkejut mendengar suara Ara yang sedikit melengking—Ara tak mau mengatakan suaranya cempreng.

"ini bukunya" suara orang itu terdengar lembut di telinga Ara. Sangat lembut, sampai-sampai mampu membuat telinganya memanas.

"terima kasih, Nathan" Ara mengambilnya dan menaruh buku itu di kolong mejanya.

Nathan terdiam sejenak. "sama-sama, Ara"

Ara mengerjapkan matanya ketika Nathan tersenyum dan berbalik untuk duduk di kursinya.

Barusan, Nathan memanggil namanya?

Ara menunduk untuk memeriksa seragamnya. Badge nama belum ia dapatkan, dan ia juga sedang tidak memakai nametag layaknya anak MOS.

Lantas, dari mana ia tahu namanya?

Pipi Ara kembali memerah ketika memorinya berputar kembali seperti film. Ah, pasti karena kejadian kemarin. Ara menghela napas, merasa bodoh karena mengira dirinya istimewa. Jelas sekali Nathan hapal namanya karena kejadian kemarin. Ara bahkan yakin seluruh anak di kelasnya mengenali Ara karena hal itu. Lalu, mengapa Ara terus-terusan berharap Nathan mengenalinya karena hal lain yang lebih berkesan?

Karena kagum, misalnya.

Atau karena cinta.

...

Karena cinta?

Ara menampar dirinya sendiri. Bodoh sekali ia berharap seperti itu.

Ah, Ara tak mau memikirkan apa-apa lagi. Ia merasa sebentar lagi dunia kiamat. Lebih tepatnya, dunianya.

"DEVAAAA!"

Ara terlonjak.

"Ah! Parah banget! Kenapa kita harus satu sekolah lagi, sih? Sekelas, pula!"

Ara melirik ke depan kelas. Gadis yang tadi melipat tangannya di dada. Di hadapan gadis itu, tampak orang yang nyaris menabraknya. Ara menduga anak itu bernama Deva. Rambutnya acak-acakan, seragamnya tak beraturan.

Tipikal anak nakal.

Ara bergidik. Ia tak mau berurusan dengan kedua anak di depan itu. Cukup sekali ia diajarkan tentang ketidak adilan hidup ketika di SMP. Ia tak mau lagi merasakannya di SMA ini.

Tapi, diam-diam, ia mendengar pembicaraan kedua anak itu.

"entahlah," suara anak laki-laki yang berambut acak-acakan itu cukup berat—khas anak laki-laki, namun juga ringan, santai dan tenang, "mungkin kau yang mengikutiku"

"aku tidak—"

"terserah"

"menyebalkan!" suara si gadis terdengar marah, "kembalikan bukuku!"

"aku tidak mengambilnya tanpa alasan," Deva melambaikan buku di tangannya, "dan aku tidak akan mengembalikannya tanpa syarat"

Gadis itu melengos, lalu pergi begitu saja, meninggalkan Deva yang terkikik.

Ara menundukkan pandangannya, pura-pura sibuk dengan telepon genggamnya.

Gadis itu mendatanginya.

Kenapa mendatanginya?

Ara kembali panik. Apa ia telah melakukan kesalahan? Apa gadis itu tahu ia menguping pembicaraannya dengan Deva? Kenapa?

Ara menunduk semakin dalam. Tangannya menekan-tekan layar telepon genggamnya yang mati dengan asal.

"hei"

Ara menahan napasnya seraya menengok untuk berhadapan dengan si gadis.

"ya?"

"itu tempat dudukku"

Ara terkejut. "oh, maaf!"

"tidak apa-apa," suara gadis itu berubah lembut, "kamu boleh duduk di sebelahku kalau mau"

"baiklah..." Ara berdiri untuk duduk di sebelah kursi yang tadi ia duduki.

Hanya untuk hari ini. Hanya untuk hari ini ia duduk di sebelah orang yang sangat ia harap tidak berurusan dengannya.

Ara berdoa, berharap hari ini bukan hari yang buruk—ataupun hari yang sial.

"namaku Zea" gadis di sebelahnya membetulkan letak kacamatanya, lalu mengajak bersalaman.

Ara menyalami Zea dengan gugup. "aku... aku Ara"

"kuharap kita bisa menjadi teman baik"

***

"apa yang sedang kau cari, Zea?" Ara ikut menunduk bersama Zea.

"buku." Zea menjawab cepat.

"buku? Buku pelajaran?"

"novel" Zea segera mengoreksi ucapannya. "novel yang baru kubeli minggu lalu"

Oh, ya. Tentu saja semua orang tahu novel seperti apa yang ia beli minggu lalu, nada sarkastik ditekankan oleh Ara dalam batinnya.

"judulnya apa?" Ara berusaha membantu mencari.

"judulnya—" mata Zea membulat. "ini dia!"

"ketemu?" Ara melongo.

"di kolong mejamu" Zea menunjuknya, "maaf, bisa tolong ambilkan?"

Ara mengangguk dan menarik benda yang dimaksud. Itu buku tebal yang tadi diambilkan oleh Nathan. Telinganya memanas lagi.

"terima kasih!" mata Zea berbinar. Senyumnya mengembang.

"sama-sama." Ara menjawab singkat.

Pikirannya sedang dipenuhi oleh sosok Nathan.

Senyumnya, suaranya...

...cara ia memanggil namanya.

"Ara!"

Ara seperti dihujam oleh satu ton emas batangan. Indah namun sakit.

Ara menjawab panggilan itu dengan jantung berdebar.

"ada apa... Nathan?"

"bisa bicara sebentar?"

***

AN/

YAY! Astaga sudah lama sekali admin tidak update :(

Maaf yah semuanya~ school is killing me (softly)

Jangan lupa vomment~ :3

hello I'm your (fan) girlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang