Aku terbangun ketika hari sudah petang. Jika bukan karena Tante Helle yang menggedor-gedor pintu, mungkin aku tidak akan bangun sampai besok...
Atau mungkin selamanya...
Dengan enggan aku bangkit dari tempat tidur, menggeliat, lalu menguap. Aku sadar betul masih memakai pakaian yang aku pakai untuk ke pemakaman tadi...
"Mandilah, kita akan makan malam lima belas menit lagi." Lalu aku mendengar suara langkah kaki tanteku menjauh.
Aku patuh, mengambil handuk, dan mandi secara mekanis. Untung aku masih punya otak, ya? Setelah selesai aku mengambil kaos dan celana piyama. Begitu membuka pintu aku melihat Klaus sudah menungguku di luar kamar. Ia langsung menarik tanganku menuju ruang makan.
Tante Helle kelihatannya memasak semua yang tersisa di dalam kulkas. Aku sedikit merasa bersalah ketika menyadari seluruh rumah juga sudah rapi. Om Dorian dan Tante Helle pasti yang melakukannya.
Helle. Nama aneh untuk seseorang berhati lembut seperti tanteku.
"Makanlah. Kamu kurus sekali tidak seperti terakhir kali tante lihat." Aku hanya bisa tersenyum lalu menarik kursi di seberangnya. Om Dorian berada di kepala meja dan Klaus sudah duduk disebelah mamanya.
Aku tahu mereka sedang menunggu saat yang tepat untuk mengatakan sesuatu. Apa kira-kira? Memintaku pindah ke kota seberang bersama mereka? Menjual rumah ini dan pindah ke rumah yang lebih kecil? Karena walau bagaimanapun Om Dorian masih punya hak atas rumah ini. Aku lebih menerima opsi kedua. Karena aku tidak ingin pindah dari kota ini.
Sekian lama kami makan dalam hening akhirnya Om Dorian angkat bicara. "Ari, kamu kenal Partaya? Yang tinggal di sebelah?"
Aneh sekali kenapa Om Dorian bisa tahu tentang keberadaan pria yang sering jadi bahan gosip sekompleks itu. "Bukan kenal, cuma tahu nama saja. Kenapa Om?" tanyaku hati-hati.
Om Dorian bisa dibilang tidak pernah mengambil keputusan tanpa persetujuan istrinya. Seperti sekarang ini. Ia melirik sekilas ke arah Tante Helle sebelum ia berkata,
"Partaya datang tadi sore ke sini sewaktu kamu sudah masuk kamar. Dia datang untuk melamarmu."
Kata-kata Om Dorian sontak membuatku tersedak hebat. Klaus dengan santai mendorong ceret ke arahku."Apa, Om? Ari tidak salah dengar, kan?" tanyaku sambil mengelap mulut dengan tisu.
Om Dorian menatapku dengan tatapan... iba? Kasihan? "Iya, Ari. Dia datang tadi siang menyampaikan langsung niat baik..."
"No way! Ari tidak percaya. Sekompleks juga tahu kalau dia sering membawa perempuan tidak jelas ke rumahnya!" Aku tidak bisa tidak marah dengan pernyataan Om Dorian.
"Partaya juga sudah mengatakan itu kepada Om. Dan dia bilang dia sudah berhenti melakukannya sejak bundamu datang menasihatinya enam bulan yang lalu."
Aku mendengus, meletakkan sendok-garpuku ke atas piring. Tidak berniat melanjutkan makan lagi. "Jika bunda memang sehebat itu dia tidak akan bunuh diri!"
Aku kemudian meninggalkan meja makan. Menghiraukan teriakan Tante Helle yang memanggilku kembali...
***
Kekanakan memang. Tapi aku berniat mogok makan. Sampai siang aku masih menghiraukan permintaan dari Om dan Tanteku yang memintaku keluar untuk bicara dengan pikiran yang lebih terbuka.
Yah, memang tidak ada yang punya pikiran sesempit aku!
Partaya bahkan membawa-bawa Bunda dalam hal ini. Aku memang ingat hanya Bunda-lah yang berani menegurnya ketika malam sebelumnya ia kedapatan membawa perempuan ke rumahnya. Perbuatannya itu telah meresahkan warga. Partaya terlihat sangat tenang ketika Bunda menyampaikan keluhan warga padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Enough
Short Story(+18) Mungkin kalian sudah menemukan kisah ini di banyak tempat... Tentang seorang gadis yang baru saja kehilangan... Tentang seorang pria penuh misteri... Tentang wasiat yang mengharuskan mereka bersama... Tapi yang membuatnya berbeda adalah bagaim...