Tia. Seorang gadis yang menaklukkan hatiku saat itu. Kami pernah berpacaran dulu. Bahkan hinnga aku kini punya anak istri, tak pernah sekalipun kami resmi putus. Aku meninggalkannya, karena menurutku, aku bukan masa depan yang baik untuknya.
"Bay, apapun yang terjadi. Jadi apapun kamu dan aku nanti, kita akan selalu bersama kan?" Tia merajuk dengan tatapan manisnya. Dia membenahi posisi duduknya. Sore hari di Ngarsopuro itu tak kan pernah ku lupa.
Aku hanya tersenyum, tak berani menjawab. Apalagi berjanji. Keluarganya adalah keluarga konglomerat. Ayahnya kontraktor, yang dengan sekali proyeknya bisa membeli masa depannya. Sedang aku, keluargaku hanya hidup dari jualan sepeda bekas. Sialnya, dia menganggap senyumanku sebagai tanda mengiyakan.
Tangannya menggenggam tanganku. "Kalau Ayahku nggak ngrestui kamu, kamu berani kan bawa aku lari? Aku siap kok rock n roll an sama kamu," Gadis itu membulatkan matanya. Sungguh ingin sekali menatap mata itu sekali lagi.
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum.
"Mesam mesem. Ndak mau njawab ya udah. Aku juga diem," Wajahnya berubah sebal.
"Kita terlalu muda buat mikirin masa depan. Lihat saja nanti," Aku menjawab dengan sedikit kedewasaan yang telah tumbuh saat itu.
"Tapi aku butuh kepastian. Bukan cuma senyam senyum kaya gituu." Tia memalingkan wajahnya. Memandang sekeliling ngarsopuro yang terlihat indah dengan lampion lampion di pinggir jalannya.
"Kenapa kamu begitu yakin sama aku? Aku anak orang nggak mampu. Ngganteng enggak, pinter enggak, miskin iya." Aku menyelidik ke arahnya. Akhirnya wajahnya kembali menatapku.
"Aku yakin sama kamu. Aku cinta. Apa kaya dan miskin bisa ngalangin orang buat jatuh cinta?" Dia diam sejenak, menatapku dalam. "Enggak kan?"
"Ya, tapi nanti apa kita hidup saban hari makan cinta?" Aku mencairkan suasana dengan sedikit berkelakar.
"Ah, sudahlah, kita masih terlalu muda. Masih jauh untuk mikir ke sana. Lebih baik ayo jalan lagi! Surakarta terlalu indah kalau hanya dihabiskan di Ngarsopuro," Ajakku padanya. Dia tersenyum girang.
Sepeda Unto ku akhirnya berjalan lagi mengitari Surakarta. Ingatanku juga berjalan lagi, ke depan, menuju saat-saat berat itu.... (bersambung.lagi)