Part 1

43.2K 1.9K 72
                                    

NOTE:

Hallo. Ini adalah buku pertama yg aku tulis. Jadi masih banyak kesalahan yg harus diperbaiki, mohon dimaklumi. Selamat membaca!❤

-----

Aku mencoba mengabaikan pada apa yang nampak oleh indra penglihatanku. Seorang wanita yang tak lain adalah ibuku duduk dipangkuan pria blonde kisaran usia 40-an. Tangannya melilit manja, menyusup pada kemeja pria tersebut untuk melarikan jemarinya.

"Kau mau kemana?"

Langkahku yang menuruni anak tangga tak terhenti mendengar pertanyaan dari ibu. Nada suaranya acuh tak acuh, terkesan hanya suatu keformalan bagi setiap ibu untuk menanyai kemana anaknya akan pergi, bukan khawatir apalagi sayang.

"Samantha!"

Teriakan ibu lagi-lagi mengganggu, hingga aku memutuskan untuk berbalik. Dengan meremas hoodie yang ku kenakan, aku mencoba menyembunyikan kepalan tanganku. Hati anak mana yang tidak miris melihat ibunya sendiri masih bertingkah layaknya remaja belia, bercengkrama mesra dengan pria yang berbeda setiap minggunya.

"Haruskah aku bilang? Dan sejak kapan ibu mempunyai ketertarikan pada kehidupanku yang menyedihkan ini?" Ujarku dalam satu ekspresi datar, terkesan menghakimi sembari berjalan mendekati ibu. Seringnya pertengkaran yang terjadi diantara kami membuatku cukup terlatih untuk menjaga emosi.

Hidup 21 tahun tanpa mengenal sosok ayah, menjadikanku pribadi yang sedikit arogan, ku akui itu. Saat taman kanak-kanak begitu terasa bahwa aku 'berbeda'. Seusai bel sekolah membunyikan lagu twinkle-twinkle little star, aku begitu bersemangat meraih tas ranselku untuk kemudian duduk di depan kelas, karena itulah yang dilakukan semua teman-temanku. Menunggu setiap ayah menjemput satu persatu dari kami.

Aku terus berharap kelak ayah akan mengamit jari-jari mungilku, lalu mendudukkanku di samping kemudinya seraya kami menikmati semilir angin siang Doncaster yang menyengat. Itu bukan masalah. Sepanjang aku bisa melihat seperti apa wajahnya, tawanya, aku mau. Hingga sampai suatu hari aku tahu semua pengharapanku adalah nihil.

"Jangan berbicara seperti itu pada ibumu, young lady." Ucapan pria itu menyadarkanku dari segala kenangan pahit. Aku mendengus, tahu apa yang dikatakan Will hanya untuk mendapatkan simpati dari ibuku.

"You better fucking shut up, manwhore." Pekikku geram, mengarahkan telunjukku agar ia tahu bahwa aku sangat benci padanya, pada seluruh pria, tanpa terkecuali!

Tiba-tiba saja aku merasakan tangan yang melayang dan mendarat di pipi kananku. Mataku membelak, masih tidak percaya. Memang ibuku selalu menelentarkanku, seolah ia tak mempunyai anak. Tapi ia tidak pernah bertindak kasar dan main tangan begitu saja.

Aku membanting pintu depan, diikuti nafasku yang berderu kencang. Segera ku hapus air mataku, menghindari agar tidak ada seorangpun yang melihat. Namun sial, aku terlambat.

Aku baru menyadari bahwa ada seorang yang berdiri di hadapanku. Menegakkan kepala, aku menatap kesal pada pria bertubuh tinggi itu. Sedang apa dia berdiri di depan pintu rumahku?!

"Hey, kau kenapa menangis?"

Aku mendengus. Lihatlah. Dia bertindak seolah-olah kami saling mengenal satu sama lain.

"Minggir! Aku mau lewat!" Pria itu terus menerus merentangkan tangannya, tak mengizinkan aku pergi.

"Jawab dulu pertanyaanku. Siapa yang membuatmu menangis?"

What the hell? Apa di Doncater sedang ramai dengan orang aneh yang berkeliaran bebas? Bahkan pria ini membawa koper bersamanya. Dugaanku pasti benar. Dia adalah seorang homeless.

EASE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang