"Kau harus konsultasi dengan psikolog, Kay," ucap Taylor yang tengah menikmati sarapan paginya.
Kayla menghentikan kegiatan mengunyahnya saat itu juga lalu menatap ayahnya. "Kau sedang tidak mengataiku gilakan, Dad?" Kayla terlihat tersinggung.
Felisa melihat hal itu hanya bisa mendesah pelan. "Kayla tidak perlu konsultasi dengan siapapun, menurutku," komentarnya datar.
Suasana pagi itu memang sedikit berbeda, Taylor sudah pulang dari perjalanan bisnisnya dan akhirnya bisa makan pagi bersama keluarganya. Suasana pagi ini juga disebabkan oleh Felisa yang semalam menceritakan tentang Kayla dan teman dekatnya, siapa lagi kalau bukan Justin.
"Tapi kalian berbeda tujuh tahun, dan dia seorang duda beranak satu," Taylor masih enggan mengalah dalam argumen pagi ini.
Kedua mata Kayla berputar samar. "Apa itu masalah? Lagipula dia pengusaha yang sukses dan kaya raya, bahkan kehidupannya jauh lebih mewah daripada kita. Bukannya itu yang selalu menjadi penilaianmu, Dad?" Kayla menekankan kalimat terakhirnya, terselip kekesalan dalam hatinya saat ayahnya seolah tak menyukai kedekatannya dengan Justin.
"Tentu. Aku tahu. Dia Kaya. Justin Hutcherson . Wajahnya belakangan ini tertampang di halaman depan surat kabar. Dan dia sangat sukses dalam bisnis hiburannya. Katakan berapa kasino dan hotel yang ia punya? Apa kau yakin dia tidak rajin bermain membawa model-model terkenal dalam hotelnya?" Itu sindiran keras untuk Kayla, mengingat bahwa Justin pasti terkenal karena gemar mengencani wanita dulunya.
Felisa mencoba meredam suasana. "Tapi dialah yang mampu mengubah Kayla. Kau harus memberinya kesempatan sama pada saat ayahku memberimu kesempatan untuk merestui hubungan kita dulu," serang Felisa halus.
Ucapan itu membuat Taylor mendesah pelan, ia jadi ingat bahwa dulu dia juga susah payah untuk membuat orang tua Felisa percaya bahwa dia benar-benar ingin serius dengan Felisa.
Satu sisi Kayla tersenyum penuh kemenangan lalu melihat Felisa mengedipkan mata padanya.
Taylor meletakkan sendok dan pisaunya di atas piring lalu menatap Kayla serius. "Baiklah. Aku memberi kalian waktu. Jika kalian serius, aku ingin setelah kau lulus, dia duduk dan makan malam di sini bersama kita."
Hati Kayla tak bisa berhenti bersorak mendengar keputusan ayahnya. Rasanya ia ingin melompat ke udara dan berteriak detik itu juga, namun ia berusa keras menahan senyum bahagianya karena malu. Kelulusannya tinggal beberapa bulan lagi dan ia takkan bisa membayangkan bahwa nantinya Justin akan duduk dan makan malam bersama keluarganya.
Kayla mencoba menahan kesenangannya dan menatap Felisa dengan tatapan penuh terima kasih. Ia harus memberitahu Justin soal ini, ya, secepatnya.
*****
Violet resah menunggu di depan kelas, menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Siapa lagi jika bukan Kayla?
Violet rela berangkat sekolah lebih awal agar dia bisa meluangkan waktu untuk berbicara dengan Kayla. Lagipula kondisi kesehatan Violet hari ini kurang baik, gadis itu terlihat sedikit pucat, namun ia terus memaksakan diri untuk masuk ke sekolah, demi Kayla. Tapi, kenapa? Gadis itu belum datang juga. Ia meruntuk sendiri pada dirinya karena tak bisa terlihat santai.
Beberapa menit berlalu Violet nyaris putus asa dan ia hampir saja namun tiba-tiba ia membatalkan niat kala melihat mobil milik Kayla memasuki gerbang. Apakah gadis itu sudah bebas dari hukumannya? Dalam hati Violet ikut senang jika hal itu benar terjadi.