Verlvilain - AS . [The Past: 01]

453 30 1
                                    

"Sudah kubilang kakak tidak perlu menyusulku," suara itu menggaung di sebuah kamar temaram. Seorang anak kecil duduk di samping ranjang besar, berkutat dengan air dalam baki yang terletak di atas nakas dekat ranjang. Di tangannya terdapat handuk, dia celupkan handuk itu sebelum dia peras-peras sedikit dan dia tempelkan kening anak kecil lain, kakaknya.

"Ungh... Ka.. kalau kau tidak disusul... kamu tidak akan pulang. Uhuk, uhuk," mengerang, dengan wajah yang merah dan membayang, anak kecil dalam selimut tebal di atas ranjang, berkata sambil terbatuk. Dari ekspresi yang ditunjukkan olehnya, dan dari mata yang setengah terbuka, terlebih dari tubuh kecil yang bergetar... jelas nampak sosok yang terlihat begitu rapuh ini tengah memaksakan diri untuk terjaga.

"Tapi kakak jadi begini kan?" mengambil handuk di kening sang kakak, anak berambut kelabu itu tak sengaja menyentuh kening dirinya yang seorang lagi. Panas. Panas merasuk ujung jemarinya, membuat hatinya tercabik. Momen beberapa jam yang lalu berputar lambat di kepalanya. "Aku pasti akan pulang kak. Kakak tak perlu khawatir berlebih. Setidaknya kakak tak perlu repot-repot menjemputku. Lihat... kakak jadi sakit lagi kan?" nada kesedihan terselip dalam ucapan anak itu. Manik coklatnya sedikit bergetar. Dia sedang menyalahkan dirinya atas mengapa penyakit kakaknya kembali menyerang. Ah, seandainya dia sedikit lebih hati-hati dalam berlari tadi... kakaknya tak perlu menarik bajunya dan menggantikannya tercebur sungai . Ya. Seandainya dia lebih tanggap, kakaknya tak akan bergumul dengan air sedingin es.

Terlalu larut dalam penyesalannya, sang adik melewatkan dua bilah senada dengan maniknya tengah menatapnya tajam di balik kelopak yang setengah terbuka. Manik itu berkilat, seolah ingin katakan jika dia baik-baik saja pada adiknya namun tak kuasa. Hingga berujung memperhatikan adiknya dalam diam dan membiarkan sosok itu merawatnya.

Sejujurnya, sebagai kakak, dia tak begitu suka diperlakukan bagai barang mudah pecah. Dia mengerti tubuhnya lemah. Dia mengerti penyakit sangat suka bersarang dalam dirinya. Namun dia tak suka diperlakukan berbeda. Dia akan menepis siapa pun itu yang berusaha merawatnya saat tak sengaja sakit yang dideritanya mencuat ke permukaan. Dia akan menatap garang kawan dan kan anggap dia bagai lawan jika dia berusaha berikan dia sikap yang berbeda hanya karena kondisi tubuhnya. Tapi kini, kali ini, dia berbeda. Dia biarkan adiknya berlaku sesuka hatinya. Dia biarkan adiknya dengan pelan dan penuh kehati-hatian mengganti kompres panasnya. Bahkan dia pun tak menolak akan paksaan adiknya saat dia bersikeras menyuapinya.

Dia ingin menyapu rasa bersalah yang bercongkol di hati adiknya. Itulah mengapa dia tak menolak. Itulah alasan dia tak berontak. Namun... melihat bagaimana ekspresi adiknya kini... dia tak mampu. Tuhan. Entah mengapa dia merasa begitu tak berguna dan hanya timbulkan raut duka dalam orang yang dia cinta.

"R-rin. S-sudah, tinggalkan... aku. A-aku... baik-baik saja," sebuah senyum terkembang di wajah pucat sang kakak. Senyum kecil yang bertujuan tuk hangatkan hati adiknya dan yakinkan jika dia sudah merasa lebih baikan, meski sejatinya tidak.

Rin, sang adik, hanya bisa menatap lurus kakaknya. Dia angkat kedua alisnya melihat senyum yang merekah di hadapnya. Dia tahu satu hal. Senyum itu tak lebih dari senyum palsu yang berusaha menipu. Menipunya.

"P-pokoknya besok kakak harus sembuh!" tukas sang adik kuat, dia tutupi matanya yang mulai berair dengan surai indah kelabu panjang di rambut depannya. Segera dia berdiri dari posisinya dan beranjak ke luar dari ruang kecil kakaknya. Hatinya tak mampu tuk diam jika dia tak segera angkat kaki dari sini. Mata jernihnya tak akan lagi mampu tunjukkan keceriaan jika dia tak segera pergi.

Tiap kali kakaknya memasang senyum itu... tiap kali sang kakak berusaha tampil baik-baik saja... sesak selalu meraja dalam jiwanya. Dia ingin bertanya, kenapa... kenapa kakaknya tak mau jujur padanya? Kenapa kakaknya tak mau bergantung padanya? Mereka kembar! Saling bahu-membahu itu hal yang biasa! hanya saja mengapa... mengapa kakaknya... seolah ingin sembunyikan duka... tutup rapat luka yang di dapatnya tanpa mau berbagi? Kenapa?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Haidr : the Verlvilain ASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang