Vanilla - 2

148K 8.6K 88
                                    

Pulang sekolah aku menunggu Rega di parkiran di temani oleh Ifa dan Bagas. Selain Rega, mereka berdua juga termasuk sahabatku sejak awal aku menginjakkan kaki di SMA Pelita Harapan. Kami bertiga duduk-duduk di motor orang sambil ngobrol ngalor ngidul.

“Alah lama banget dah si Rega,” kata Bagas.

“Ya lo kan tau die kalo jalan kaya putri keraton,” jawabku.

Dari arah samping Rega berjalan ke arahku dan seketika menoyor kepalaku dari samping. “Bilang apa tadi?” ujarnya berkacak pinggang.

“Lo kaya putri keraton,” aku melipat kedua tanganku di depan. “Apa lo?”

“Cie elah berantem mulu macem tikus dan gajah,” Ifa berdehem-dehem tidak jelas.

“Jadi maksud lo Rega gajahnya? HuahaHAHAHAha,” membayangkan Rega berbadan gendut, besar, seperti gajah yang siap menginjak-nginjak orang. Aku tertawa lebar, mungkin lalat bisa saja tiba-tiba masuk ke dalam mulutku.

“Yeh songong,” tunjuk Rega ke arah aku dan Ifa.

“Canda teman!” Ifa menepuk bahu kiri Rega dan berpaling ke arah Bagas yang sibuk dengan ponselnya.. “Gas, gue nebeng yak!”

“Sok basa-basi lo, biasa juga langsung duduk mingkem di jok belakang,” Bagas mengalihkan perhatiannya pada ponselnya yang di sambut dengan cengiran lebar Ifa.

“Dari kemaren lo megangin hape terus sih, Gas?” tanyaku.

“Bagas lagi jatuh cinta sepertinya,” sambung Rega.

“Apaan dah lo pada,” Bagas sewot. Namun, mukanya menunjukkan raut wajah senyam-senyumnya.

“Bagas kan lagi ngegebet Dita anak IPA 5,” sahut Ifa sambil melirik-lirik ke arah Bagas. Yang di lirik hanya memasang wajah seakan-akan berkata, “Diem si lu!” sambil memelotot-melototkan matanya.

“OH DITA YANG ITU?!” kataku sengaja ku teriak-teriakkan agar semua orang tahu. Dan benar saja hampir semua orang yang sedang lewat menoleh sebentar kepadaku.

“Ck, kebiasaan ah lu ngumbar-ngumbar rahasia,”

“Ups, jadi itu rahasia? Jadi itu bener? Cie Bagas cie, CIEEEE!”

“Cek dulu gih Gas, si Dita udah punya monyet apa belom,” kata Rega.

“Setelah observasi selama tujuh hari tujuh malam. Riset menunjukkan bahwa Dita belom punya monyet,”

“Aduh bahasa lo kawan,”

Lama kami saling meledek Bagas yang baru ketahuan sedang ngebet orang. Memang bahaya jika sudah ketahuan rahasianya oleh kami ber-empat. Aku dan Rega pulang karena hari selasa jadwal aku bimbel.

“Males bimbel niiiihhh,” kataku duduk di jok belakang motor Rega yang tengah melaju membelah jalan.

“Ya gausah bimbel lah ribet,” sahut Rega. “Lagian gegayaan banget pake bimbel-bimbel segala kalo ujung-ujungnya sering bolos,”

Aku memukul belakang helmnya seperti biasa, “GUE JARANG BOLOS SIH YEE,”

“Nyantai kali mbak,”

“UDAH PALING NYANTAI KALEE,”

“Jadi mau bimbel apa ngga?” tanya Rega.

“Gak. Gue ke rumah lo aja,”

****

Motor gede Rega masuk ke dalam kediaman keluarga Mahardika. Satpam di depan yang bernama Pak Mukhlisin tersenyum sumringah kepadaku. Memang sudah dua minggu yang lalu aku tidak ke rumah Rega karena sibuk ujian-ujian yang hampir menenggelamkan diri ini.

“Eh si gentong kok udeh pulang?” Rega berjalan ke arah adik nya yang tengah bermain ps sambil memakan cemilan beijibunnya. “Makan mulu lu gentong!”

“MAA BANG REGA TUH GANGGUIN AKU MULU,” seketika langsung di bekap oleh Rega.

“Eh, berisik tau gak tong?”

“Hmmphhh,” Galih, adik Rega yang baru tahun kemarin mengikuti masa orientasi sekolah menengah pertama. Sekarang suaranya hanyalah seperti redaman bom yang siap meluncur jika di lepaskan. “AAAA MAMAAAA,”

“Anjir gapake gigit berapa sih gentong!” Rega melepaskan tangannya karena di gigit oleh Galih.

“Gigit lagi Gal yang kenceng!” seruku pada Galih dan duduk di sofa.

“Sialan lo!” sembur Rega.

“Kak Vani kok mau-mau an aja sih temenan sama bang Rega? Dia kan kaya gembel,” komentar Galih.

“Buat aku jadiin supir lah lumayan nganterin pulang pergi ke sekolah,”

“HAHAHA,” Galih hanya tertawa melihat Rega yang mendelik ke arahku.

“Ke atas aja Van – eh iya, mama dimana sih tong?” kata Rega sebelum naik ke anak tangga.

“Pergi arisan,”

“Oh, jadi lo ngibulin gue tadi? Pake segala sok sok an ngadu ke mama – awas aja jatah cemilan lo gue abisin!”

“Ambil aja sono! Galih bisa minta beliin lagi kali ke mama,”

****

Aku tiduran di kasur Rega sambil menunggu Rega mandi. Suara shower masih bisa ku dengar dari sini. Rega bukan laki-laki yang cuek dalam merawat dirinya. Kamarnya bersih dan harum melebihi kamarku yang sudah seperti piring pecah. Jika Rega sedang main di kamarku komentarnya pasti selalu sama.

“Anak cewek gini amat si lo,”

Dan aku hanya bisa menjawab.

“Bodo amat,”

Kenyamanan yang di berikan oleh kasurnya membuatku perlahan memejamkan mata. Ngantuk. Hingga aku benar-benar memejamkan mataku beneran. Samar-samar masih bisa ku dengar suara pintu kamar mandi di buka dan suara Rega yang mendekat ke arahku.

“Van?”

Aku masih bisa mendengar suara Rega. Namun, mataku seperti tidak mau berkompromi untuk sekedar membuka mata barang hanya sedikit. Otakku dan mulutku sepertinya sedang korslet dan mempunyai pemikiran tidak sejalan.

“Suka-suka gue kali. Gue tau kok gue cakep,”

Sesungguhnya aku tidak sadar mengatakan kalimat tadi. Seratus bahkan sejuta persen itu mutlak refleks dari alam bawah sadarku. Aku membetulkan posisi agar lebih nyaman serta menarik selimut yang berada di paha.

“Dasar goblok,” gumam Rega melihat tingkahku. Mau tidak mau Rega tersenyum juga melihat pemandangan di depannya sekarang.

****

Note: karena vote dan comment adalah pembangkit mood yang paling baik. HuahahaHAA.

Vanilla [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang