Vanilla - 4

110K 6.5K 156
                                    

“Gak,”

Jawaban singkat dari Rega membuatku ingin mencak-mencak padanya. Bukannya menambahkan beberapa kata di belakangnya ia malah sibuk bermain play station. Dengan cepat aku merebut stick ps nya.

“Timbang ngajarin doang si,” sungutku. “Pelit banget lu ah bete,”

“Nyadar diri dong lo, nyetir motor aja masih nyungsep ke got. Gimana lo nyetir mobil? Gue gamau ngambil resiko kalo lo kenapa-kenapa,” akhirnya Rega mengeluarkan alasannya. “Siniin stick nya!” ia merebutnya kembali.

“Ya makanya, daripada capek-capek belajar motor ujung-ujungnya nyungsep mending belajar mobil kalo nyungsep kan gue masih di dalem mobil,”

 “Denger ya geblek, yang namanya belajar mobil itu harus bisa motor dulu. Sama kaya lo mau belajar motor, ya harus bisa sepeda,”

“Is bodo amat, ajarin gue Rega!”

“Belajar aja dulu motor yang bener biar gausah gue anter jemput ke sekolah lagi,”

“Ajariiiiiin!” kutarik-tarik kaosnya berusaha merayunya.

“Apaansi narik-narik bocah,”

“Ajarin bodo!”

“Gak!”

“Ajariiiiin!”

Rega mem-pause ps nya dan meletakkan stick ps di sampingnya, “Sekali nggak tetep nggak,”

Aku menyipitkan mataku padanya, “Fine.”

Kemudian aku bangkit berdiri dan meninggalkan Rega yang kembali sibuk dengan play stationnya. Vika saja kemana-mana harus di antar Vandy atau pacarnya. Rega saja tidak mau mengajarkanku, apalagi Vandy si bau ayam satu itu?

Oke kalo  lo gamau ngajarin gue, Ga. batinku.

Gue bisa sendiri! tambahku.

Kebetulan sekali, hari sabut pagi seperti ini belum ada yang bangun lagipula mobil milik Vandy sedang nganggur karena yang punya sedang naik gunung bersama teman kampusnya. Pagi-pagi buta aku telah bangun dan mengendap-ngendap ke kamar Vandy untuk mengambil kunci mobilnya. Biasanya Vandy selalu menaruh di laci meja belajarnya.

Sebuah kunci telah kudapatkan, aku tersenyum singkat. Pagi ini pasti akan menjadi paling indah untukku. Dengan riang sekaligus berhati-hati agar tidak menimbulkan suara, aku membuka pintu rumah dan menuju garasi.

“Akhirnyaaa,” kataku gembira.

Aku masuk ke dalam mobil milik Vandy dan pikiran yang terlintas saat telah di dalam. Bagaimana aku bisa menyalakannya? Ah gampang, kataku dalam hati. Tinggal masukkan kunci lalu putar, tapi kalau tidak salah aku harus menginjak kopling juga. Atau mungkin gas? Atau – ah, siapa peduli tekan apa saja asal mobil ini jalan.

Well then,

Who’s laughing now, Abrega.

****

Rega tengah bermain basket bersama teman-teman kompleks nya saat suara Tio memanggilnya dari ujung lapangan.

“Hp lo bunyi mulu, Ga!” teriaknya dari sana.

Rega berlari kecil menghampiri Tio dan mengambil ponselnya yang tengah berkedip-kedip nyala. Bagas. Ia mengangkatnya dan memposisikan ponsel itu di samping telinganya.

“Apa?”

Hanya butuh lima detik kalimat yang barusan di katakan Bagas. Terburu-buru Rega berlari ke arah rumahnya dan menuju motor gede nya. Tak ia hiraukan suara teman-temannya yang memanggilnya.

“Vanilla kecelakaan, nabrak pohon. Sekarang dia lagi di rumah sakit.”

Berulang kali Rega mengumpat pada kendaraan-kendaraan yang menghalangi jalannya. Pikirannya hanya tertuju pada satu nama, Vanilla.

Kenapa sih ga pernah dengerin omongan gue jadi cewek

Rega berlarian masuk ke dalam rumah sakit dan bertanya pada resepsionis dimana Vanilla berada. Setelah tahu, ia berlari menuju kamar dimana Vanilla berada. Lantai dua, kamar 202.

Brengsek, dimana sih kamarnya?

202.

 

Rasa khawatir yang menyerang seakan terhapus sudah melihat Vanilla yang sedang duduk di atas ranjangnya di temani Vika serta Bagas dan Ifa. Juga rasa kesal yang di pendam karena membuatnya sedikit menjadi frustasi karena ulahnya terbayar sudah. Rasanya, melihat Vanilla yang sedang tertawa-tawa membuatnya lega.

“Kapok?” tanya Rega sambil berjalan mendekati Vanilla.

“Ngga lah, yang namanya belajar sesuatu tuh pasti ada halang rintangnya,” jawab Vanilla.

“Bego – tapi lo gapapa kan?” Rega mengacak-ngacak rambut Vanilla.

“Gapapa – apansi tangan lo bau jangan pegang-pegang rambut gue,” Vanilla menepis tangan Rega.

“Lo tau ga Van? Si Rega pas gue baru bilang lo kecelakaan langsung nutup telpon gitu. Kayanya dia khawatir banget dah,”

“Iya Ga? Serius? Demi? Sumpah? Suer?” tanya Vanilla ngeselin.

“Bacot ah, kalo lo jadi gue juga gitu kali,”

“Cie Rega,” kata Ifa.

Pandangan Rega beralih kembali pada Vanilla, “Kalo mau belajar lagi sama gue aja, jangan coba-coba belajar sendiri lagi,” nada yang di keluarkan Rega terkesan memerintah. Vanilla hanya mengangguk kalem sambil memakan apelnya.

“Kalo pun udah bisa nanti, gue bakal tetep anter jemput lo ke sekolah,” lanjut Rega.

“Yaelah Ga care amat lo,” komentar Bagas.

“Brisik!”

****

Vanilla [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang