Tiga : Nasib Anak Tiri

108 6 0
                                    

"Mas, bagaimana kalau kita tidak memperkerjakan lagi pembantu-pembantu itu?" usul Inggrid saat ada rapat keluarga mereka untuk membicarakan rencana liburan mereka minggu depan.

"Lho, memangnya kenapa?" tanya Fadlan dengan kening berkerut.

"Iya, Ma, memangnya kenapa?" protes Fanya. Wacana ini sangat tidak disukai oleh Fanya.

"Begini, lho. Kayla dan Fanya kan sudah sama-sama dewasa, bagaimana kalau mereka dan aku saja yang mengurus pekerjaan rumah? Supaya mereka juga berlatih menjadi wanita yang mandiri dan calon istri yang baik untuk suami mereka kelak. Toh, uang untuk gaji pembantu-pembantu itu bisa ditabung untuk biaya kuliah mereka, kan, Mas," jelas Inggrid. Fanya membelalakkan matanya.

"Kalau untuk biaya kuliah, semua sudah aku urus di deposit dan asuransi pendidikan. Uangku sangatlah cukup, bahkan berlebih untuk menggaji dua orang pembantu itu. Tapi yang jadi persoalan adalah, pembantu-pembantu itu akan kehilangan pekerjaannya jika kita memecat mereka. Lagipula Mbok Juminten dan Mbok Atri sudah ikut dengan keluarga ini semenjak Fanya masih bayi," Fadlan menerawang.

"Tapi, Mas, sampai kapan anak-anak harus bermanja dengan pembantu-pembantu? Mereka harus merasakan rasanya bersih-bersih dan kerja di dapur, supaya tidak kaget nantinya ketika sudah menikah," Inggrid masih keukeuh dengan pendapatnya. Ia harus membuat Fadlan menuruti kemauannya yang satu ini.

"Aku suka membantu mereka, Ma. Tidak hanya duduk diam. Kasihan kalau mereka dipecat, darimana lagi pemasukkan mereka?" tanya Fanya dengan nada pelan. Inggrid menatapnya dengan tajam. Namun tatapan Inggrid itu luput dari penglihatan Fadlan. Fanya menundukkan kepalanya dalam-dalam, takut untuk menatap Inggrid.

"Tapi kalian harus belajar mandiri."

Kayla menatap Mamanya sengit, "Belajar mandiri bukan berarti menghentikan mata pencaharian mereka."

Semuanya terdiam karena perkataan Kayla barusan. Inggrid menghembuskan nafas kesal, "Mama tetap mau mereka tidak bekerja lagi di sini. Tidak ada tapi-tapian!"

Fadlan akhirnya menyerah. Ia menatap kedua putrinya itu dengan tatapan meminta maaf, "Baiklah. Tapi biarkan seminggu ke depan mereka tetap bekerja, karena minggu depan akhir bulan. Aku akan memberikan gaji terakhir mereka."

Tidak ada lagi yang bersuara. Kayla dan Fanya menutup rapat-rapat mulut mereka yang sebenarnya ingin sekali memprotes keputusan tidak adil itu.

"Nah, lebih baik begitu," ucap Inggrid puas lalu tersenyum manis.

***

Seminggu sudah berlalu, pembantu-pembantu itu sudah resmi tidak bekerja lagi dengan keluarga Wibisono sejak dua hari yang lalu. Fanya menangis saat kedua pembantu yang merawatnya sejak kecil itu pulang ke kampung halaman mereka masing-masing.

"Fanya," tegur Inggrid ketika melihat Fanya sibuk melamun di balkon kamar gadis itu. Fanya menoleh sebentar lalu menggumam pelan.

"Cuci piring, kemudian cuci baju. Ah ya, mulai sekarang jangan mencuci baju menggunakan mesin cuci karena bisa merusak baju. Cuci baju pakai tangan. Sekarang," perintah Inggrid tegas. Fanya menatap ibu tirinya itu dengan tatapan kaget.

"Buat apa ada mesin cuci kalau aku mencuci menggunakan tangan, Ma?" tanya Fanya sedikit kesal.

"Supaya lebih bersih dan tidak mudah rusak! Apa kau tahu, Papamu itu sudah mengeluarkan banyak biaya untuk mengobati penyakit ibu kandungmu yang sudah mati itu. Sekarang, waktunya untuk berhemat agar keadaan ekonomi Papamu kembali seperti semula. Kau mengerti?!" teriak Inggrid seraya mencengkeram pergelangan tangan Fanya dengan cukup kencang. Fanya mengangguk kaku. Ia sebisa mungkin menahan air matanya, "Ya, Ma. Fanya mengerti."

Being Her StepdaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang