1. Apa Bedanya?

127 8 1
                                    

"TIDAAAKKK...". Teriakku terbangun dan langsung menangkupkan kedua tangan diwajah. Dan kulihat jam dinding telah menunjukkan pukul setengah lima pagi itu berarti waktu subuh telah tiba.

"Ya Allah, kenapa mimpi itu harus hadir kembali?". Dewi batinku mengeluh. Yaa, mimpi itu akan hadir kembali jika aku merasa kelelahan. Kemaren malam aku pulang kerumah pukul sebelas malam karena kehujanan dan rasanya semua badan terasa remuk redam saat berbaring di kasur lantai ini. -pantas saja mimpi itu hadir kembali-

Aku pun bergegas bangun dari kasur lantai, dan segera membersihkan diri kemudian berwudhu untuk menunaikan kewajibanku sebagai hamba Allah. -sholat subuh-

Hari ini tepat tiga tahun aku menetap di kota ini. Kota yang mengajarkan betapa kerasnya kehidupan. Kehidupan yang dulunya kujalani dengan sederhana tetapi tetap membuatku bahagia karena Ayah dan Ibu selalu mendampingi dan menjagaku. Namun sekarang berbeda, mereka telah pergi meninggalkanku sendirian dalam kesepian dan kegelapan yang selalu menyambangiku.

Perkenalkan namaku Radisty Nurfauziyyah. Umurku dua puluh satu tahun bulan lalu. Aku tinggal di rumah susun pinggiran kota ini tepatnya sejak tiga tahun lalu aku menginjakkan kaki disini. Aku datang ke kota ini bukan untuk mencari kebahagiaan, harta, kekayaan atau mencari pasangan hidup. Pasangan hidup kaya raya yang akan mengubah status kita dari orang miskin menjadi orang kaya. TIDAK! Aku tidak pernah berfikiran seperti itu. Hal tersebut menurutku hanya ada dalam karangan fiktif belaka yaitu novel atau sinetron saja.

Aku datang ke kota besar ini untuk menghilangkan kesepian dan kegelapan ini! Tapi nyatanya semua itu tak berhasil. Terkadang aku berfikir ingin kembali ke kampung halaman. Tapi aku tak mau merepotkan keluargaku kembali. Sudah cukup mereka dibebani olehku sejak kepergian Ayah dan Ibu selama-lamanya.

Tiga tahun yang lalu tepatnya kelulusanku dari bangku SMA. Hari yang kutunggu-tunggu, karena aku akan pergi dari kesepian dan kegelapan itu. Semoga disini aku tidak akan bergelung kembali dalam kesepian dan kegelapan. Cukup sudah aku disana membebani pikiran Nenek. Dan membebani Bibi dan Paman dalam membiayai hidupku. Mereka memang tak pernah mengeluh. Yaa, mereka menyayangiku dan aku juga menyayanginya. Tapi jika aku tetap disana, aku akan selalu teringat dengan kejadian itu. Kejadian yang membuat Ayah dan Ibu pergi meninggalkanku selama-lamanya. Kejadian yang membuat kesepian dan kegelapan ini. Kejadian yang selalu membuatku bersalah. Tapi nyatanya kedatanganku ke kota ini tak berpengaruh apa-apa, terkadang aku masih sering mengingatnya.

Flashback

Malam itu, sekolahku menyelenggarakan pensi yang selalu diadakan setiap tahunnya. Dan aku ikut berpartisipasi di dalamnya. Para orang tua pun tak ketinggalan diundang untuk melihat bakat anaknya. Aku akan menyumbang sebuah lagu daerah dengan gitar kebanggaanku. Dan juga aku beserta teman-teman sekelasku akan menampilkan sebuah drama, terdengar seperti anak TK memang. Tapi kami senang dengan acara ini.

Sampai acara di mulai sekitar satu jam tapi Ayah dan Ibu belum datang juga. Perasaanku dari pagi memang sudah tak enak, aku pun menyuruh mereka tidak perlu datang karena takut terjadi sesuatu. Tapi mereka tetap keukeh ingin datang.
Tiba-tiba terdengar suara keributan diluar gerbang yang menyatakan di dekat halte sekolah ada yang mengalami kecelakaan. Karena penasaran aku pun membelah kerumunan orang-orang yang sedang melihat dan membantu korban kecelakaan tabrak lari itu, dan betapa syoknya aku ketika melihat siapa korban yang mengalami kecelakaan. Dan ternyata mereka kedua orang tuaku. Seandainya aku bisa sedikit sabar untuk membujuk mereka agar tidak datang, pasti mereka takkan mengalami seperti ini. "Yaa, ini salahmu!". Dewi batinku membenarkan.

Sejak saat itu kegelapan dan kesepian pun berbondong-bondong menyambangiku. Dan rasa bersalah pun tak pernah luput.

Flashback off

Tanpa terasa ingatan itu membuat air asin turun kembali dari mataku. Aku pun langsung menghapusnya. Sudahlah tak usah berlarut-larut. Aku pun melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul enam pagi. Itu artinya aku harus segera bersiap-siap berangkat ke sebuah TK. Yaa, aku mengajar disebuah TK. Siangnya aku bekerja di toko kue yang berpusat di pasar swalayan. Dan malamnya aku menjadi seorang guru privat disebuah perumahan elit. Yaa, setiap harinya aku menyibukkan diri dengan bekerja. Ketika hari minggu datang pun aku harus kuliah di sebuah institusi kelas karyawan.

Jika ada sisa uang gajiku, aku sisihkan mengiriminya untuk Bibi. Tapi Bibi menolak karena menurut Bibi uang itu lebih baik dikirimkan untuk Nenek. Nenek pun sama selalu menolaknya karena ia masih ada simpanan harta dari peningggalan Kakek. Tapi aku tetap keukeh mengiriminya meskipun tidak seberapa.

Angin pagi dan percikan air setelah hujan tak kuhiraukan aku tetap menjalankan sepeda motor bututku menuju tempatku mengajar. Sesampainya diparkiran, tiba-tiba ada seorang anak kecil memanggilku.

"Bu guyu Ty!". Panggil anak tersebut dengan suara khas anak kecil berumur empat tahun berlari kearahku. Yang ternyata Gibran salah satu anak didikku di TK ini dan anak yang ku privati setiap malam selama satu bulan ini.

"hai... Iban sayang". Aku pun langsung memeluknya. "diantar siapa sayang?". Lanjutku bertanya.

"diantar Pak Cupir".

"lho, Oma tidak ikut mengantar?"

"no! Oma dan Opa cedang jenguk Om di uar negyi alena Om cakit!"

"emang Iban punya Om?". Tanyaku penasaran karena Gibran tak pernah membicarakan soal Omnya itu. Yaa, aku tau semua tentang Gibran. Karena memang dia sangat dekat denganku. Bahkan Oma dan Opanya pun menganggapku sebagai anaknya.

"unya. Potonya yang Bu Ty liat dikamar Iban!". Aku pun langsung teringat dengan foto seorang laki-laki tampan berkisaran umur dua puluh lima dikamar Gibran yang pernah kutanyakan, tapi Gibran tak sempat menjawabnya karena panggilan Oma Gibran -Tante Santi- yang menyuruh kita untuk makan malam.

"Oh yang itu?".

"iya Bu! Iban ke kelas yaa Bu!". Gibran mencium tangan kananku kemudian pergi ke kelasnya. Aku pun bergegas ke ruang guru untuk mengambil peralatan mengajar.

Gibran Prastian Irwinsyah. Menyebut nama bocah itu saja telah membuatku terseyum sendiri. Anak kecil yang sangat ceria berumur empat tahun itu sangat tegar dan kuat. Sepenglihatanku ia tak pernah bersedih. Menangis pun jarang, paling hanya karena keinginannya tak dituruti. Dan mungkin ia memang belum mengerti.

Menurut cerita yang di ceritakan Tante Santi Gibran ditinggalkan orang tuanya semenjak berumur satu bulan karena suatu kecelakaan. Ternyata kita sama-sama tak punya orang tua, dan hal tersebut karena kecelakaan. Jadi apa bedanya kita? Bedanya dia ditinggalkan sejak masih kecil dan sekecil itu sudah tak merasakan kasih sayang orang tua tapi hidupnya penuh kemewahan. Sedangkan aku masih sempat merasakan kasih sayang orang tuaku selama enam belas tahun meskipun hidupku sangat sederhana.

Semoga anak itu selalu ceria tak sepertiku yang penuh dengan kesepian dan kegelapan hanya karena ditinggal orang tua. Padahal diluar sana masih banyak kebahagiaan jadi kenapa aku harus selalu terpuruk dalam kesedihan ini. Karena kenyataannya mendapatkan kebahagiaan itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi tetap saja kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Agung, kita harus berani menhadapi dan menjalani garis kehidupan yang telah ditentukannya. -takdir-

***
Absurd gajelas yaa :D maklum aku masih amatiran -_-

Ingat !!!

Typo berhamburan.

Semoga ada yang baca tulisan nggak jelas aku ini!

Vomment nya yaa kawan

Thanks!

RadistyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang