(1)

1K 125 59
                                    

Kemarin, saat pulang dari kampus aku membaca sebuah novel roman, agak aneh membacanya tapi aku nekat. Kenapa kubilang aneh? Karena aku tidak pernah merasakan jatuh cinta, bagaimana atmosfirnya. Ah entahlah. Siklus yang terlalu membingungkan, awalnya karena mata, terus jatuh ke hati, tiba-tiba patah hati.

Dari sekian banyak hobi di dunia ini, hobiku agak aneh. Kata orang begitu. Aku tidak suka berpanas-panas di lapangan, bermain bola atau sejenisnya. Aku hanya tertarik dengan senyum orang, kalian sebut gila pun aku tidak peduli. Tapi memang benar aku suka melihat senyum orang lain, dari ibu-ibu penjaga kantin sampai OB di kampus.

Senyum. Entahlah, satu kata itu amat menganggumkan bagiku. Kata orang, saat orang tersenyum kecantikan atau ketampanan akan meningkat. Aku sempat percaya kata-kata itu. Serius. Aku melihat rata-rata seorang wanita atau lelaki akan bertambah rupawan saat mereka tersenyum. Contohnya temanku, dia pernah nyaris tergila-gila dengan seorang perempuan hanya karena senyum yang teramat manis.

Tapi, kini semua asumsiku hilang saat menoleh ke arah luar jendela kafe yang berada di sudut jalan. Sejak saat itu, aku jadi sering duduk di sini. Menatap keluar, setiap hari minggu, dan dia selalu berada di sana.

Biar kuceritakan bagaimana serunya melihat dia. Gadis dengan senyum terjelek yang pernah kutemui.

===

Aku pernah bertemu seorang gadis kurus, tubuhnya tinggi, kulitnya kecoklatan dengan hidung mancung, wajahnya sebenarnya lumayan cantik, namun saat tersenyum wajahnya berkerut, tampak bahagia, namun entah mengapa kecantikan itu justru sirna. Dia bertambah jelek karena tersenyum. Aku sempat frustrasi dibuatnya, bingung juga. Agak kesal, seharusnya ia bertambah menawan.

Suatu hari secara tak sengaja ia tersenyum pada seorang pelayan, saat si pelayan tidak sengaja memecahkan sebuah gelas-tak jauh darinya-segera ia membantu. Namun, dalam sepersekian detik gadis itu berhenti tersenyum. Dia menyadari perubahan raut wajah temannya atau pacar, mungkin. Ia langsung diam. Enggan tersenyum lagi. Aku menghela napas dibuatnya.

Pemuda itu biasa saja, terlihat seperti kebanyakan orang cina, bermata sipit dengan kulit putih dengan kacamata bertengger di wajahnya. Sisanya, tak ada yang menarik.

Dia duduk kembali, sambil menyesap secangkir cokelat panas-sama seperti biasanya. Sudah hampir setengah jam mereka duduk di sana dan kini si pemuda mulai berpamitan, entah takut melihat senyum gadis itu, entah kecewa dengan gadis itu. Yang pasti raut wajahnya berubah. Dan kalian tahu minggu berikutnya? Si pemuda tidak pernah datang lagi.

Sebut saja nama gadis itu Vee, aku tidak tahu nama aslinya, jadi panggil saja Vee. Dia suka sekali minum cokelat panas, suka mengigit bibirnya saat gugup dan suka sekali memainkan rambutnya.

Minggu-minggu berikutnya yang kulihat gadis itu hanya tertidur di meja kafe. Cokelat panasnya ia biarkan dingin, tanpa menyentuhnya sedikit pun. Wajahnya teramat lelah, kadang-kadang kulihat ia menangis, namun segera ia menghapusnya. Dia patah hati?

Bulan ini masih musim dingin, salju masih senang sekali turun di luar sana, satu bulan lagi baru musim semi. Dan selama musim dingin, Vee hanya duduk sendiri di sana, entah teman ... hm ... atau pacar yang biasanya duduk bersamanya pergi ke mana.

Sejak kejadian itu, tak pernah lagi aku melihat dia tersenyum. Senyum jeleknya hilang.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah sisi kafe lainnya, sampai menangkap gerak-gerik seorang pemuda yang cukup menarik perhatianku.

Pemuda itu duduk tak jauh dari Vee, hanya berjarak dua meja, diam-diam ia melirik, mencuri pandang. Sebagai lelaki aku tahu gerak-gerik pemuda itu, ia tertarik pada Vee. Pemuda itu tampan tidak seperti pemuda sebelumnya, tingginya mungkin lebih pendek tiga senti dari Vee. Ia berpakain kasual, terlihat seperti mahasiswa super jenius dengan kacamata bertengger di hidungnya, persis seperti pemeran tokoh Harry Potter milik J.K. Rowling.

SenyumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang