Buku 06.
Untara dan Agung Sedayu kemudian tidak membuangbuang waktu lagi. Segera mereka mulai dengan suatu latihan yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin melihat, sampai dimana puncak kemampuan adiknya.
Ketika latihan itu telah berjalan beberapa lama, maka tahulah Untara bahwa apa yang dikatakan oleh Widura itu memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Ketangkasan, kekuatan tenaga dan kelincahan.
Apalagi kini, setelah anak muda itu menemukan kepercayaannya kepada diri sendiri, maka setiap geraknyapun seolah-olah menjadi lebih mantap.
Meskipun beberapa kali Untara melihat kesalahan-kesalahan yang masih dilakukan oleh adiknya, namun kesalahankesalahan kecil itu segera dapat diperbaikinya.
Dalam latihan-latihan itulah, maka Widura melihat betapa Untara sebenarnya mempunyai ilmu yang hampir mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri mengenangkan perkelahian antara Untara dan Sidanti. "Aneh" pikirnya "Jarang aku temui anak muda sesabar Untara dalam menghadapi lawan perkelahian apapun alasannya. Tetapi terbawa oleh tugas yang diembannya, maka agaknya Untara harus berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti adalah bukan lawannya." Namun Agung Sedayu ternyata telah mengagumkan pula.
Kini anak itu tampaknya tidak ragu-ragu lagi untuk sekalisekali membenturkan tenaganya apabila perlu. Meskipun beberapa kali ia terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun segera ia berhasil menguasai keseimbangan dengan kelincahannya.
Untara melihat ketangkasan adiknya itu dengan penuh kebanggaan didalam dadanya. Apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu, benar-benar jarang ditemuinya. Melatih diri dalam lukisan-lukisan. Membuat perhitungan-perhitungan dengan gambar. Tetapi ternyata dalam pelaksanaannyapun Agung Sedayu mampu melakukan sebagian besar dari anganangannyayang dituangkannya diatas rontal-rontal. Hanya disana-sini Untara masih perlu memberinya beberapa petunjuk dan perubahan, sehingga dengan demikian ilmu Sedayu itupun menjadi semakin sempurna.
Ketika Untara telah cukup mengenal ilmu adiknya, serta menganggap latihan itu telah cukup, maka segera ia menghentikannya. Agung Sedayu,yang sebenarnya telah menjadi kelelahan, sgera meloncat surut dan dengan wajah yang riang ia berdiri bertolak pinggang. Meskipun demikian, tampak juga dadanya menggelombang karena nafasnya yang terengah-engah.
"Kau lelah" bertanya Untara.
Agung Sedayu mengangguk, jawabnya "latihan ini terlalu keras bagiku." "Belum sekeras perkelahian sebenarnya" Untara menyahut "Apalagi kalau kau bertemu dengan Macan Kepatihan dengan tongkatnya yang mengerikan itu." Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian iapun segera duduk diatas seonggok tanah disamping pamannya. Sedang Untara masih saja berdiri untuk kemudian memberikan beberapa petunjuk tentenag kesakahan-kesalahan yang dibuat oleh Agung Sedayu.
"Sedayu" berkata kakaknya "kau ternyata mampu bertempur seorang lawan seorang. Tetapi suatu ketika kau akan turut serta dalam pertempuran brubuh. Pertempuran antara laskar Pajang dan laskar Jipang. Dalam pertempuran yang demikian kau tidak hanya dapat membanggakan kekuatan pertempuran seorang lawan seorang. Tetapi kau harus dapat menempatkan dirimu diantara kawan dan lawan." Agung Sedayu kemudian memperhatikan dengan seksama petunjuk-petunjuk yang diberikan oelah kakaknya.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi didalam perang atara dua kekuatan dalam jumlah yang banyak. Hal-hal yang sebagian lagi pamannya telah memberitahukannya kepadanya.
Tetapi Untara itupun berhenti ketika dilihatnya sebuah bayangan yang bergerak-gerak dibelakang pucuk kecil itu.
Namun mereka tidak menjadi cemas karenanya. Orang itu telah mereka kenal baik-baik. Kiai Gringsing.