Prolog

58 3 0
                                    


Sesuatu yang tidak pernah bosan untuk di fikirkan. Selalu bersemayam dalam jiwa, wajah dan parasnya. Terlintas di dalam benak kenangan-kenangan yang manis namun begitu singkat dijalani. Saat dia pergi, sosoknya begitu di idamkan, dan kerinduan akan hadirnya telah menjelma menjadi sebuah rasa. Rasa itu akhirnya berubah jadi Cinta. Kini sosok itu jauh dari diri dan hati. Menunggu dan menunggu adalah jawaban yang paling tepat untuk saat ini. Menunggu kedatanganya, saat kumulus kelabu selanjutnya bermunculan, menunggu akhir dari kumulus itu. Apakah akan turun hujan pada hati yang tepat atau malah berdiam dan hanya mendung pada akhirnya. Waktu terus berputar, menyisakan sesuatu yang telah terangkai menjadi kenangan Sayangnya kenangan itu takan pernah terjadi lagi, dimana aku dan dia bertemu, bercanda dan menghabiskan waktu bersama. Kumulus kelabu selalu datang menghampiri, mengingatkan memori pada sosok yang di nanti. Kumulus kelabu adalah awal kisah cinta ku pada nya, yang takan pernah aku tahu akhirnya seperti apa.

Cuaca sore ini memang tak bersahabat. Hujan turun begitu deras membasahi bumi dan seisinya. Kelas di bubarkan lebih cepat dari jadwal yang di tetapkan, aku hanya bisa memandangi teman-temanku yang satu persatu pulang dan di jemput orang tua mereka. Waktu menunjukan pukul 17.00, namun aku tak dapat menemukan Pak Sobar, ojek langganan ku yang biasanya menjemputku sepulang sekolah. Hujan kini turun tak terlalu deras, namun tetap saja jika aku memberanikan diri menghadang hujan, buku-buku kesayangan ku akan basah karenanya. Aku menatap lurus pada bangku kosong yang tak jauh dari tempaku berdiri. Ku langkahkan kaki menuju bangku itu lalu duduk sambil membuka novel yang sedari tadi tersimpan rapih di tas. Lembaran demi lembaran halaman kubaca dan ku hayati. Hingga tak kusadari aku terbawa lamunan. Mengingat masa lalu itu, entahlah aku tak tahu apa yang sedang terjadi, yang jelas isi dari novel itu sama persis dengan kenyataan yang pernah ku alami. Ku perhatikan deras hujan itu, sama seperti deras hujan saat pertama bertemu denganya.

"Ya Allah, hujanya deras banget, mana aku nggak bawa payung lagi. Ah semua ini gara-gara ... aahhh " kaki ku hentakan ke lantai di depan pintu masuk ruang les vocal. Les vocal kali sungguh membuatku kesal. Bayangkan saja, Bu Rosa guru vocal ku tiba-tiba saja di ganti dengan coach vocal baru yang menyebalkan. Dia menyuruh ku dan yang lainya berlatih lagu yang cukup sulit penguasaan nada dan tehnik vocalnya sehingga tak heran bila latihan kali ini memakan waktu yang lumayan lama. Tapi yang lebih mengesalkan lagi coach vocal baru itu hobinya marah-marah. Aku kesal di buatnya.

"Kasian lho lantainya nanti sakit kalo kamu gituin terus .. hahaha" tawanya menyadarkan ku dari kekesalan tingkat tinggi ini. Tapi tunggu, siapa dia ? aku belum pernah melihat dia selama di sini. Tapi wajahnya seperti tak asing bagiku.

"Aku Arya Muhamad Syabani, kamu ? " dia menjabat tangan ku tiba-tiba. Aku sontak kaget dibuatnya. Deg .. Deg .. ada apa dengan jantungku ini. Berdetak lebih kencang seperti genderang yang akan berperang.

"Anisa Syifa Aini, panggil saja Ica. " jawabku. Aku memalingkan pandangan pada derasnya hujan. Keheningan mulai menyapa kami. Aku rasa aku harus memulai suatu percakapan untuk menghangatkan suasana. Tapi ..

"Andai saja dari dulu aku masuk les vocal ini, pasti aku akan banyak menghabiskan waktu bersamanya."aku tak menyangka Arya akan memecahkan keheningan ini dengan pengakuan yang membuatku bertanya-tanya.

"Ibu ku menjadi guru vocal di sini, tapi aku malah berguru pada orang lain, andaikan waktu bisa diulang"kata Arya melanjutkan. Aku semakin tak mengerti, siapakah yang di maksud "Ibu".

Aku mencoba berfikir, mencocokan dengan fakta dan kenyataan. Jangan-jangan, "Bu Rosa"ku alihkan pandangan pada arya, menanti kepastian. Arya menghela nafas panjang, "sepertinya tanpa aku beri tahu, kamu sudah mengetahuinya haha"Sial, tawa kecil nya sukses membuat jantungku berdetak kencang untuk kedua kalinya. Tapi, tawa nya itu mengisyaratkan bahwa dia berusaha menutupi sesuatu.

"Bu Rosa kenapa, kenapa dia di gantikan dan berhenti mengajar les vocal ?" kataku penasaran. Apakah aku lancang bertanya hal seperti itu ?

"Terlalu rumit bila aku ceritakan, nanti saja ya.. jangan terlalu kepo. Aku kan akan les disini, kamu bisa menagih ceritaku kapan pun kamu mau" Arya mengacak rambut panjang ku pelan. Sial, kelakuanya ini sukses membuat jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Keheningan mulai menyapa kami. Arya sibuk memandangi sepatunya yang mungkin itu menarik bagi dia. Sedangkan aku sibuk memandang langit yang masih di penuhi kumulus kelabu. Sejenak aku berfikir Kumulus kelabu kali ini begitu istimewa. Kumulus Kelabu ini jadi saksi awal bertemunya aku dan arya.

"Eh hujannya sudah reda ca, kita pulang yu" ajak arya pada ku, tanpa berkata apapun dia menarik lenganku. Dan kami berjalan beriringan di bawah kumulus kelabu. Rasanya aku ingin berteriak, aku sekarang bersama orang yang sukses membuat jantung ku berdetak kencang. Sepanjang jalan aku tak henti-hentinya menatap wajah Arya, merekam wajahnya agar dapat ku simpan dalam memori.

"Neng Ica, neng "suara Pak Sobar sukses membuyarkan aku dari lamunan masa laluku.


Entah kenapa saat hujan turun mengingatkan ku pada Arya, bukan hanya hujan tapi juga ketika kumulus kelabu itu muncul. Akan kah aku bisa bertemu dengan pujaan hati yang telah lama pergi ..



Entahlah ... 








Kumulus Kelabu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang