You Don't Even Want to Know 2 - Don't Stop March on Guy Resistance

35 4 16
                                    

You don't even want to know.

Gue Dhani, cewek, straight. Kalau ada gerakan anti Amir, dengan senang hati gue akan jadi ketuanya.

Pagi yang indah ketika gue menyadari ini adalah hari di mana lagi-lagi gue akan menghabiskan waktu seharian dengan cowok yang gue adore. Tunggu, jangan bilang dengan gue mengutarakan kalimat barusan, pada mikir gue jadian sama Putra. Atau enggak? Oke, salah gue yang ge-er. Eh, hehe.

Esok hari ketika gue akan mengikuti pertandingan dalam rangka memeringati hari jadi TNI yang ke-70 di Tegal, Jawa Tengah. Dua hari penuh bareng Asta, Putra, dan Amir.

.

.

.

Tunggu, apa tadi gue bilang Amir?

.

.

.

Amir itu, cowok yang gue benci dengan sepenuh hati. Gue masih sangat ingat gimana awal mula kejadiannya. Pada saat itu, hari pertama gue praktek kegiatan ekstrakurikuler yang gue –kami ikuti, tembak reaksi airsoft gun. Waktu giliran anak songong itu tiba, satu bb –macem bullet yang keluar dari inner barrel terpantul mengarah ke kaki cantik gue. Nggak sakit, gue hanya terlalu mendramatisir keadaan sehingga entah kenapa otak gue kemudian langsung memutuskan untuk membencinya. Mungkin gue PMS, mungkin juga enggak. Apa pun alasannya, keputusan yang gue ambil tidak akan pernah menjadi penyesalan di hidup gue.

Di turnamen pertama GBB bagi para angkatan pertama ekskul yang baru terbentuk, gue ingat kata-kata pisaunya nyayat banget di hati, hanya gue lupa bentuk yang diucapkan olehnya. Intinya, dia sangat mengitimidasi seorang cewek seperti gue. Minta gue mutilasi emang tu anak.

Ketika gue merasakan my first official shotoff, gue berhasil mengalahkannya di putaran pertama. Itu adalah momen ketika Dhani bahagia part dua setelah sebelumnya gue berhasil pegang rifle. Namun, gun yang gue pegang mendadak error. Yang menyebabkan dua putaran berikutnya gue harus mengaku kalah. Bagi gue, kalah bukanlah suatu masalah. Hanya aja, pose saat dia bangga karena gagal kalah itu songong sangat. Pengen dilempar magazine emang tu orang.

Amir cakep, Amir ganteng, Amir seksi, Amir Arab, Amir putih, Amir apalah bodo amat gue nggak peduli. I mean, seriously? Maaf ya, gue nggak suka cowok yang ngomongnya keras, nyakitin, yang dari awal udah gue dendamin, blabla yang pokoknya Amir banget. Masih banyak, like banyak banget kelakuan nyebelinnya. Jadi, jangan salahkan gue atas kebencian gue terhadapnya.

Sebenarnya dia baik, gue tahu itu. Hanya saja gue nggak tau di mana letak sisi kebaikannya. Jadi, nggak ada alasan untuk berhenti benci sama holang kaya macam dia. Wait, biar gue coba ingat-ingat. Dia pernah kasih gue, Asta, Lufi, dan Lyara coklat. Jangan salah presepsi dulu, dia juga ngasih ke yang lain, kok –cowok. Gue hampir luluh dan memaafkan karena gue dikasih coklat, karena gue cinta coklat dan gue sedang berbaik hati, cuacana hati sedang seratus persen bersinar terang. Kita berempat bikin caption "ketika Amir baik hati," yang di-upload lewat ig gue. Gue akan melaksanakan penghapusan dendam gue dan menjadikannya kawan, tapi seketika dia menghancurkannya dengan kesongongannya itu. No more second chances, gue benci dia selamanya.

Ada lagi, kemaren dia nungguin Asta dan gue ngebongkar unit, yang susahnya setengah idup, sampe kena semprot Mr. You berkali-kali tanpa henti yang kita tanggepin dengan ketawa-tawa gaje. Akhirnya Amir ngebantu Asta yang masih bingung masang, dan gue sendirian bingung ribet sendiri masang baut. Hampir jam sepuluh dan Asta udah dijemput, tapi seketika unitnya error. Dan gue ditolongin masang baut sama Amir, duh lol. Dan giliran Mr. You bingung sama unitnya Asta. Slide-nya error. Haduh. Problem solved dengan tukeran slide sama unit sekolah, dan akhirnya kita bisa pulang. Putra udah pulang duluan sebelum maghrib. Oh, Putra.

"Akhirnya balik," omongnya dengan suara khasnya yang keras serta nggak nyantai itu.

"Wahaha! Gila mata lu merah banget!" gue ketawa terbahak, Asta juga ketawa, lucu banget lah ya. Mana dia ngeluh laper karena dari tadi emang belum makan. Bahkan saat gue sama Asta udah makan pas habis maghrib.

"Lu kalo tidur biasa jam berapa emang?" tanya gue sambil gendong tas.

"Kalo sekolah jam 8, kalo libur kagak tidur," jawabnya dengan nada songong, udah bayangin aja. Yaelah, kalah sama gue.

Jujur, kasihan sih. Kasihan banget, sampe gue pengen ngakak guling-guling. Ingat, kesempatan yang lama sudah hangus. Gue benci dia sampai titik darah penghabisan.

Yah, hanya itu sih yang gue inget, atau mungkin emang cuma itu aja sisi baiknya. Nah, gue jadi curcol. Udeh lah, intinya di mata gue orang itu cowok setan. Rese, nyebelin, seneng bikin bete, pengen gue colok.

Well, you don't even want to know...

Except for every KEPO person in this whole freakin' world.

You Don't Even Want to KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang