Angin berhembus sepoi sesekali hari itu, menggerak-gerakkan ujung ujung ranting penuh warna musim semi. Bunga dari pohon ceri, peach, dan ginkgo saling berebut untuk menarik perhatian pejalan kaki yang melihatnya. Jalan raya tampak lengang, dengan sesekali angkutan kota berlalu lalang. Jam pagi itu menunjukkan pukul 07.15 Waktu Kouka.
Sebuah kota perbukitan, Fuuga, adalah kota yang dikenal sebagai kota pelajar, hanya berjarak 15 menit berkendara dengan mobil dari ibukota negara. Jalanan kota pada jam-jam ini selalu tampak lengang, menandai dimulainya aktivitas harian oleh para warganya, yang mayoritas bekerja dalam ruangan atau gedung. Terutama hari ini, yang merupakan hari penerimaan siswa baru nasional. Banyak sekolah-sekolah bertaraf internasional didirikan di kota ini, melengkapi sekolah-sekolah perintis, dan sekolah-sekolah negeri terkemuka di tingkat nasional.
Salah satu dari jajaran sekolah top di kota ini adalah Akatsuki High School, ditulis dalam kanji 'matahari terbit', dan dieja dengan pelafalan Jepang; sebuah sekolah swasta yang didirikan Song Mundeok. Mereka memiliki visi regenerasi, memberikan kesempatan masuk bagi siapapun dari kelas apapun (yang lolos tes masuk tentunya), dan menerima guru-guru muda fresh-graduate yang memiliki kualitas untuk memajukan generasi muda. Mereka terkenal dengan cara pendidikan karakternya yang kuat, juga prestasi olimpiadenya yang mengagumkan.
Bukan isapan jempol, mengingat, sudah rahasia umum bahwa Song Mundeok adalah nama terkenal dan terpercaya di kalangan cendekiawan, membuat para cendekiawan itu tak ragu menyekolahkan putra-putri mereka di Akatsuki High School. Ya, dan kini, aku, Kang Yun 'si jenius, tampan, dan bersahaja' ini, sudah tak sabar untuk ikut ambil bagian sebagai 'bintang cemerlang' di sekolah ini.
Ya, lihatlah, kalian semua para anak cendekiawan, ini aku, Kang Yun, seorang pemuda desa pedalaman gunung cadas, kini berdiri di hadapan kalian semua, sebagai siswa baru dengan skor penerimaan tertinggi!
.
"Hei, gimana tadi pidato sambutanku?" aku menggeser tempat dudukku, sembari bertanya pada gadis di sebelahku. Tepuk tangan riuh selepas aku menyelesaikan pidato sambutanku, masih sedikit tersisa ekor suaranya. Aku menyamankan dudukku, sembari sedikit menebar senyum ramah ke sekeliling.
"Bagus! Kau keren banget, Yun!" gadis itu memuji dengan tulus, yah, entah kenapa aku tahu itu 'tulus' padahal ekspresi senyumnya tampak datar --poker face, orang bilang. Jangan-jangan, aku terlalu lama bergaul dengannya...
"Yang 'bener ah. Ekspresimu nggak meyakinkan!" balasku, iseng.
"Beneran, bagus!" kali ini, ia berusaha meyakinkan dengan memaksa tersenyum lebih lebar, yang malah terlihat aneh. Aku tergelak tertahan -ingat, kita sedang di upacara penerimaan siswa baru lho.
"Ahaha, bego." responku, membuatnya sadar kalau sedang dikerjai. Ia meninju bahuku pelan, lalu memalingkan wajahnya ke arah panggung. Sementara aku, masih tertawa tertahan sembari merapikan dudukku kembali, ikut kembali menatap panggung.
Gadis itu, Hwa Yona. Aku mengenalnya sekitar setahun yang lalu, saat ia dititipkan kepada Ik-soo, ayah angkatku. Aku awalnya tak suka padanya, orang kaya selalu saja menyusahkan Ik-soo. Menitipinya sesuatu, meminta nasehat padanya, atau menjadikannya kambing hitam. Menitipkan anak kaya manja padanya, untuk apa? Jangan-jangan anak itu pelarian dari mana 'gitu, sedang dikejar hutang, atau apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Discontinued Until Further Notice] Yona in the school of the dawn
FanfictionMasa SMA, bukankah itu sebuah masa yang indah? --Sebuah fanfiksi berbahasa Indonesia dari Akatsuki no Yona, Highschool AU.