Dua

366 29 10
                                    

Sudah lebih dari dua minggu Ardi berada di Denver. Dan selama itu dia tak pernah mengirimkan satu pesanpun kepada Vina. Membuat perempuan itu semakin hari semakin khawatir. Vina hanya takut sesuatu yang buruk terjadi pada pacarnya itu. Paling tidak jika laki-laki itu memberikan kabar sekali saja, hati Vina akan terasa tenang.

"Tenanglah, Sayang. Aku mengerti perasaanmu, aku juga merasakannya ketika Darrel pergi meninggalkanku. Setidaknya dia akan kembali, tidak seperti Darrel-ku." Mrs. Calova tampak sedikit tersedu ketika ia menyebutkan nama Mr. Calova.

Mrs. Calova sering bercerita dengan sukarela tentang Darrel—Mr. Calova kepada Vina. Bagaimana kedua orang tua itu saling bertemu saat di bangku perkuliahan dan diakhiri dengan keduanya berdiri di atas altar. Tidak lupa juga Mrs. Calova selalu mengingatkan Vina akan rintangan yang mereka hadapi.

Lalu setelah Mrs. Calova merapikan beberapa gelas yang berantakan, dirinya pamit pulang—meskipun ia hanya perlu keluar apartemen Vina dan berjalan lima langkah menuju pintu apartemen miliknya. Rambut putihnya diterpa angin kala membuka pintu depan untuk keluar. Salju masih menutupi sebagian jalan, membuat Mrs. Calova harus mengangkat terusan bajunya lebih tinggi.

"Anda yakin tidak butuh bantuan, Mrs.?" tanya Vina memastikan. Dirinya sangat khawatir jika Mrs. Calova terjatuh di gunukan salju yang dingin.

Dengan seulas senyum di bibirnya, ia mengibaskan tangannya pelan. "Aku tidak apa, Watson. Kuharap kamu segera masuk, jika saja badai akan segera datang," ujarnya seraya membuka pintu apartemennya dan hilang dibalik pintu putih kayunya itu.

Ponselnya yang berdering membuat Vina berlari ke dapur. Senyum yang dipaksanan kini berubah dengan senyum senang. Tanpa berpikir panjang Vina menjawab panggilan telepon dari Ardi itu.

"Maafkan aku baru bisa menghubungimu sekarang. Di sini masih pukul lima pagi dan aku masih mengantuk. Kamu sedang apa?" Ardi mengakhiri kalimatnya dengan sedikit menguap, membuat Vina bertanya-tanya pukul berapa pacarnya terlelap malam itu.

"Mrs. Calova baru saja berkunjung karena berpikir aku menangis ditinggalkan olehmu. Aku mengerti pacarku yang suka bekerja ini akan tinggal cukup lama disana, benar begitu?" Sebenarnya Vina ingin mengatakannya dengan sarkastik, tapi mendengar Ardi menguap lagi malah membuatnya sangat bersalah.

Ardi berdecak pelan sebelum menjawabnya. "Aku sedih kamu tak menangis untukku, tapi tak apa." Ardi berdeham, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat. "Bukan maksudku untuk meninggalkanmu lebih lama, tapi... Ya, aku tidak bisa pulang cepat."

Terjadi keheningan sesaat karena Vina lebih dari kecewa mendengarnya. "Baiklah, kalau begitu aku ingin menyusulmu kesana."

"Aku ingin kamu tetap di London, setidaknya aku yakin kamu akan aman disana besama Rena dan Mrs. Calova." Ardi menghela napas pelan. Meskipun tidurnya cukup nyenyak, tapi dari suaranya Ardi terdengar sangat lelah.

"Kumohon, aku sangat bosan disini," gerutu Vina. "Aku bisa membantu pekerjaanmu."

Ardi menghela napas berat. "Kau tak boleh pergi, tetap tinggal disana dan aku akan merasa tenang disini. Mungkin kamu harus mencari klien. Sampai jumpa, aku merindukanmu."

Vina tersenyum kecut ketika memutuskan sambungan telpon. Ia berjalan dengan malas menuju kamar tidurnya, dan jatuh terlelap setelah salju mulai turun lagi.

○○○

Bulan Februari baru saja dimulai. Salju telah berhenti ketika Vina membuka matanya, terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Mata Vina terasa berat. Diliriknya jam yang terus berdetik di atas nakas.

Pukul tiga sore.

Vina teringat akan janjinya dengan Mike kemarin. Lelaki itu meminta Vina menemuinya pukul empat dan ia tidak boleh terlambat.

Rasa segar musim dingin menyeruak ketika Vina menyemprotkan parfum setelah mandi. Kini Vina mengenakan kaus putih serta celana jins yang dibalut lagi oleh mantel cokelat muda miliknya. Dililitkannya syal dengan warna senada ke lehernya. Tak lupa dengan topi kesukaannya. Kini Vina melangkah keluar dan mencari taksi.

Sepanjang perjalanan Vina hanya terdiam menatap trotoar yang masih ditutupi salju tipis. Kenyataan itu membuatnya lebih merapatkan mantel dan menutup matanya sebentar. Vina sedikit terperanjat kala supir taksi menegurnya karena sudah tiba. Setelah menyerahkan beberapa dolar dan memastikan mantelnya terkancing rapat, Vina berjalan mencari Mike.

Setelah beberapa menit Vina berjalan, diputuskannya untuk duduk di bangku yang kosong. Vina lupa menanyakan dimana tepatnya mereka bertemu, karena Vina tak sanggup juga harus mengelilingi Hyde Park. Berhubung Vina tidak membawa kartu nama Mike, jadi ia memilih untuk berjalan mendekati The Serpentine.

The Serpente adalah sebuah danau yang indah menurut Vina. Tempat yang menyenangkan meskipun airnya membeku di kala musim dingin seperti ini. Saat musim semi, Hyde Park akan terlihat hidup dengan The Serpente yang tenang. Vina sangat menyukai taman yang seperti ini—meskipun sangat luas dan melelahkan jika kau mencoba mengelilinginya dengan berlari.

Vina menemukan Mike tengah duduk dengan kopi panas digenggamannya. Mata hijaunya menatap selembar kertas dengan seksama. Mike sedikit terlonjak ketika Vina menepuk bahu lelaki itu pelan, dan Mike buru-buru menyebunyikan kertas itu dengan menjejalkannya ke dalam saku.

"Sejak kapan anda menungguku?" Vina memutuskan untuk tidak bertanya tentang kertas yang disembunyikan Mike tadi.

Mike melirik Vina sebentar, lalu menatap The Serpente lagi. "Tidak lama. Langsung saja, aku tidak punya banyak waktu. Jadi, kamu benar-benar bisa membantuku?"

"Tentu saja, aku bisa membantumu." Vina memasukkan kedua tangannya ke dalam mantel. "Apa aku bisa langsung ke tempatnya sekarang?"

Kali ini Mike mengalihkan padangannya le arah Vina sepenuhnya. Posisi duduknya dimiringkan, membuatnya bisa sedikit berhadapan dengan Vina.

"Tempatnya bukan di London. Tetapi di Denver."

Perkataan Mike membuat Vina mematung. Hanya asap tipis yang keluar dari mulut Vina yang terbuka sedikit. Untungnya perempuan itu masih bernapas. Setiap pohon saling bertukar sapa dengan melambaikan dahan-dahan mereka demi mencairkan suasana.

Apa ini sebuah kebetulan belaka? Harusnya Vina senang karena pada akhirnya ia dapat bertemu dengan Ardi disana. Tapi apa itu pilihan terbaiknya?

"Jika kamu benar-benar setuju, hubungi aku. Penerbanganku ke Manhattan tidak bisa ditunda. Sampai jumpa lagi."

•••

MavinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang