[ S h o r t S t o r y ]
•••
Ini bukan lagi hal baru bagi Gab. Ya setiap tahunnya ini pasti akan terjadi, terima-tidak terima, Gab harus merelakan bantal serta guling kesayangannya, serta jangan sampai lupa, bagian utamanya, yaitu kasurnya yang menemaninya selama liburan ini.
Kalau ditanya, kemana saja ia menghabiskan liburan panjang kali ini? jawabannya, tempat surga nya itu. Mengingat, nilai raport terakhirnya yang dapat dibilang menurun, membuat ia harus menghabiskan liburannya di rumah saja, alias hukuman.
Kini, Gab kembali ke tempat seharusnya ia menghabiskan waktunya di masa remajanya ini, atau dengan kata lain, neraka. Ya, ini memang terdengar kasar, namun itu lah yang dirasakannya, terlebih lagi dengan nilainya yang sering pas-pasan dan juga ia tidak menikmati hari-harinya di sekolah.
Dengan langkah santai, Gab melangkahkan kakinya menyusuri koridor menuju kelas barunya tersebut. Ia terus menggenggam tali ranselnya tersebut, memandang ke kanan serta ke kirinya. Semua murid terlihat menampilkan raut wajah mereka yang begitu senang kembali datang ke tempat ini, namun menurut Gab? ia bahkan hampir muntah pada saat sarapan tadi, mengingat hari ini, hari resmi liburannya berhenti. Tidak ada lagi, menonton film hingga larut malam. Oh Tuhan, ini benar-benar tidak adil. Gab menggerutu dalam hatinya.
Kalau kebanyakan orang lebih sering melihat Gab sering sendiri, jawabannya, ia dulu merupakan murid pindahan, dan satu-satunya sahabat yang ia punya, tidak ikut dengannya pindah ke kota baru ini. Ugh. Ditambah lagi, Sikapnya yang sedikit sulit untuk memulai hubungan persahabatan. Ini semakin membuatnya sulit.
Kini langkah kakinya berhenti. Suara hentakkan sepatunya pun tidak terdengar lagi. Ia mendongakkan kepalanya menatap plang yang tertera di dekat pintu kelasnya. Ia memastikan kembali, kalau ia tidak salah kelas. Nyatanya, ia tidak salah kelas. Sebelum ia benar-benar masuk ke dalam kelas barunya tersebut, ia mengintip sedikit melalui celah jendela keil pada pintu kelas barunya tersebut. Nyatanya, kelas masih sepi. Tanpa ia sadari, sebuah senyum terukir di kedua sudut bibirnya.
Gab melangkah masuk ke dalam, ini aneh. Semua murid yang berada di kelas ini begitu sunyi. Bagaimana tidak? hampir semuanya sedang terbang dalam angan mimpinya yang entah sudah sedalam apa. Bahkan, seorang lelaki yang baru saja dilewati oleh Gab, ia mengeluarkan air.... nggak banget batin Gab.
Gab menghela nafasnya panjang lalu, menaruh tasnya di deretan meja ketiga dari depan, barisan kedua. Ia menghentakkan dirinya di bangku yang akan menjadi teritorial nya sekarang.
Namun, sebelum ia melanjutkan aktivitasnya, Gab menoleh sekilas.
Sepasang mata menoleh ke arahnya. Dan membuat kedua mata mereka bertemu. Gab sempat mengangkat sebelah alisnya, namun seketika ekspresi wajahnya langsung berubah. Lelaki itu menenggelamkan dirinya kembali di atas mejanya.
Tidak jelas.
•••
Siapa sangka, hari-hari pertama di kelas sebelas begitu cepat berlalu, bahkan rasanya baru kemarin Gab berusaha mati-matian membuka matanya tiap paginya pukul lima pagi, namun sekarang? rasanya semuanya sudah biasa ia lakukan, kini tas sekolahnya pun mulai terasa berat oleh buku-buku. Gab benci buku.
Dan ditambah lagi, kini ia harus menatap lurus ke depan, tepatnya menatap ke arah Bu Sara yang tengah asik mengukir tinta spidol hitam dengan berbagai rumus matematika di papan tulis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Left
Short Story[ S h o r t S t o r y ] "Aku menyesal menatapnya berulang kali." "Seharusnya, ia tidak mengajak ku berkenalan." "Kenapa aku rela tertidur larut malam, hanya berbicara dengannya?" "Ah, hal itu, aku suka menonton film, dan menonton film dengannya...