Layaknya roda, hidup juga berputar. Tidak hanya dalam hal karma, seperti apa yang para remaja percayai sekarang, dalam hal sifat pun begitu. Aku juga.
Aku yang dulu, jelas berbeda dengan yang sekarang. Lemah dan penakut.
Jujur saja, aku dulu bocah sekali. Apa-apa dimasukin ke hati. Ada yang bercerita, aku ceritakan lagi. Ada yang tidak ada di sekumpulanku, aku bicarakan. Ya begitulah setidaknya. 'Ngaraja', kalau bahasa sunda nya.
Sampai aku memasuki kelas 7. Benar-benar mendapati suasana yang berbeda. Dari kelas yang lebih nyaman, sampai cara mereka berteman. Perlu kau ketahui, aku itu orangnya banyak berharap. Berlebih malah. Makanya, suka sedih saat apa yang aku harapkan tak sesuai kenyataannya. Begitulah kira-kira saat aku memasuki kelas 7 SMP. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sekolah terfavorit itu, aku sudah berharap lebih. Ini dan itu. Tapi, kenyataannya? Kau sudah tahu.
Dulu aku berharap, kehidupanku di SMP ini lebih baik dan menarik daripada saat aku di SD. Namun, saat aku melihat apa yang aku hadapi, sepertinya aku tarik saja ucapanku. Sungguh, aku ingin segera menyelesaikan studi ku di SMP. Benar-benar menyedihkan.
Untuk mencari teman saja susah sekali. Sampai sebelum aku berubah, aku belum menemukan teman yang sebenarnya. Aku hanya orang yang menggantikan mereka yang sedang tidak ada. Aku tak pernah dianggap penting. Oleh siapapun itu. Bahkan di rumah pun.
Aku tidak pintar, tidak cantik, tidak menarik, juga tidak kaya. Pantas saja, bukan?
Setidaknya, itulah yang membuatku menjadi lemah dan penakut.
Lemah dalam hal terbully. Jujur deh, dulu aku pernah dibully. Becanda, katanya. Tapi menurutku, itu berlebihan. Walaupun akhirnya si pembully meminta maaf padaku, kejadian memalukan tersebut masihku ingat. Tapi, Allah saja pemaaf, masa aku, yang jauh dari sempurna, tak memaafkannya?
Penakut. Aku akui, dulu aku penakut. Baik dalam arti yang sebenarnya, maupun bukan. Takut hantu, takut gelap, takut ditinggal sendirian, takut teman marah, takut dia marah, takut dikucilkan --walaupun kenyataannya iya--, dan banyak sekali. Hidupku dipenuhi rasa takut. Benar-benar bocah, bukan?
Namanya juga bocah, tersakiti, ya nangis. Walaupun karna hal sepele. Pelampiasanku dulu. Sampai sekarang sih, ditambah malah. Menyakiti diri sendiri. Bodoh, ya? Iya.
Imajinasi. Pelampiasan lainnya. Aku melampiaskan segalanya ke imajinasiku. Seakan-akan hal itu pernah terjadi, padahal tidak. Cuma imajinasi. Tapi terasa nyata. Jadi senang lagi. Aneh ya? Iya.
Keseharianku dipenuhi dengan, "Kapan aku kayak gitu?"
Sampai akhirnya, memasuki kelas 9 sepertinya, aku menyadarinya. Buat apa, aku pedulikan mereka, yang tak ingin bersamaku? Begini saja, jika kau ingin berteman denganku, datang saja. Kalau tak ingin, pergi, aku tak akan menahanmu lagi. Prinsipku sekarang, setidaknya.
Lebih bahagia sekarang, Alhamdulilah. Sepertinya dulu memang aku yang kurang bersyukur. Selalu merasa tidak puas memang tak selalu menjadi hal yang bagus.
Setidaknya sekarang, aku telah menemukan teman. Kenapa tak aku panggil sahabat? Mahal. Aku belum menemukannya.
Intinya, sekarang aku tidak lemah lagi. Penakut juga. Bahkan, lebih bahagia. Sampai-sampai disebut abnormal. Aneh memang.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Untold Stories
Teen FictionNabila Putri. Itu namaku. Biasa saja, memang. Tapi orang yang mempunyai nama yang biasa saja ini, punya cerita --yang biasa saja juga-- yang tak pernah ia ceritakan. Bahkan temannya sekalipun. Tentang apa saja? Lihat saja nanti. #BaseedOnTrueStory ...