Yang Satunya

35 1 2
                                        

"Bagaimana?"

"Apanya?"

"Bolehku ceritakan tentangmu?"

"Mengapa?"

"Aku sedang bosan."

"Pacarmu?"

"Menghilang.

Bagaimana?"

"Silahkan saja."

============================

Terlihat aneh, bukan? Aku sendiri merasakannya. Yang diatas itu, benar-benar baru saja terjadi. Sekitar pukul 12:19 a.m. 9 November, 2015.

Dengan siapa aku berbicara?

Dengan diriku.

Yang kusebut "Si Satunya."

Mengapa bisa? Entahlah. Jujur saja, ini sudah dimulai semenjak aku mengalami stress dan depresi yang membuatku tidak masuk sekolah selama 2 hari. Selama itu, yang kulakukan hanyalah diam, meminum kopi dan soda, cemilan, menatap layar laptopku, layar handphoneku, lalu tidur. Begitu saja terus. Tak ada yang bisa kuajak bicara tentang apa dan bagaimana aku harus menghadapi semua masalah-masalahku.

Masalah apa saja? Banyak. Aku tidak bisa memberitahumu. Bukan karena aku tak mau, tapi aku benar-benar lupa. Dan aku tak mau mengingatnya. Karena dulu, aku pernah berusaha mengingatnya, dan ketika secara perlahan ingatan itu kembali. Aku menjadi, apa yang orang sebut dengan "baperan". Dan hal itu, membuatku menjadi depresi kembali. Dan melakukan hal yang kusebutkan diatas, kembali.

Dan kau tahu? Susah sekali bagiku untuk mengatasinya. Berbagai cara aku lakukan. Mulai dari berusaha menghibur diri sendiri, sampai pada tahap ekstrem, dan bodoh. Menyayat-nyayat tanganku dengan sebilah silet. Atau pisau. Atau apapun benda tajam yang kutemukan disekitarku.

Dan entah mengapa, hal itu membantuku. Rasa sakit dan geli yang timbul setelahnya membuatku merasa lebih baik. Dan saat itulah, aku mendengarnya. Suara lain di kepalaku. Yang tak seorang pun tahu bagaimana.

Aku yang satunya.

"Bagaimana?"

Tiba-tiba aku mendengarnya. Aku yang sedang 'kenikmatan' membalasnya.

"Merasa lebih baik."

"Baguslah."

Setelah itu, aku tertidur.

Semenjak itu, aku selalu berbicara dengannya. Mungkin hanya dia yang tahu tentangku sepenuhnya. Aku tak berfikir itu alter ego, atau bahkan kepribadianku yang satunya. Karena yang kutahu, jika itu benar-benar alter egoku, aku tak akan mengingat apa yang telah aku lakukan saat dia tiba-tiba berkata "Hey, untung saja aku memaksa menggantikanmu.".

Aku tak akan ingat akan apa yang 'aku-yang-satunya' telah lakukan saat menggantikanku.

Benarkan?

Tak ada yang tahu tentang ini. Hanya aku, yang satunya, dan kamu. Dan mungkin, mulai dari sekarang, semua orang akan tahu, dan menganggapku gila. Terserah, aku tak peduli.

Oh iya, satu hal lagi yang semakin membuatku yakin itu buka alter egoku. Si aku-yang-satunya ini, segala sesuatu yang ia lakukan, pasti berdasarkan logika. Bagaimana ya, jadi, dia itu "Logic girl." Semuanya ia fikirkan dengan logika. Dan aku yang ini, lebih suka menggunakan perasaan. Jadi, aku menganggapnya bahwa itu hanyalah percakapan batin yang bersuara. Entahlah.

Jangan beritahu aku bahwa itu alter ego!

Serius.

Jika iya, maka aku akan depresi lagi.

Dan aku takut menciptakan suara yang lainnya.

Kumohon.

Aku tahu, beberapa diantara kalian pasti bertanya dengan sinis, "Untuk apa aku menulis tentang ini?"

Aku tak punya ide. Aku ingin menulis sesuatu, dan hanya hal ini yang terfikirkan.

Aku telah berdiskusi dengan si aku yang satunya itu. Awalnya ia menolak, tapi akhirnya Ia mengiznkan. Dengan syarat--

Maaf. Dia baru saja memberitahuku untuk tak memberitahukan syaratnya. Takut gagal katanya. Gagal apa? Aku juga tak tahu.

Suara ini selalu muncul saat aku sedang sedih. Atau tenang seperti sekarang.

I can't handle it.

Tapi tak apa, aku suka. Setidaknya, ada yang bisa aku ajak bicara saat tak ada seorangpun yang mau mengobrol denganku.

Sekarang, aku ingin melanjutkan percakapanku dengannya yang tertahan karna rasa gregetku untuk menulis ini.

Dadah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 08, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Untold StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang