DUA

3.9K 492 127
                                    

"Halo? Dan? Dan?" Aku berteriak, tepat setelah Danang berhenti bicara. Namun, percuma saja karena sambungan telepon terputus.


Aku mulai berpikir ini film. Soalnya, coba pikir, kenapa ini tidak masuk akal seperti di film-film di mana sambungan telepon selalu putus di saat genting? Ini. Tidak. Masuk akal!

"Net, abis pulsa?" tanyaku pada Neta. Wajah Neta semakin kaku. Aku? Mungkin tidak jauh darinya.

Neta menggeleng. Wajahnya sangat pucat. "Banyak gratisan sesama operator."

"Lalu, kenapa terputus?" Aku teriak tanpa suara. Entah, entahlah kenapa. Mungkin aku terlalu terpukul untuk bisa bersuara lagi. Aku sepenuhnya bingung, terlampau panik untuk berpikir.

Mungkin karena merasa aku terlalu lama diam, atau karena dia melihat tanganku yang bergetar hebat, Neta merebut ponselnya dari tanganku.

Tangannya sama gemetar denganku. Namun, otaknya masih terus beroperasi, aku yakin. Memang begitu dia semenjak dulu. Membuatku kagum, selalu. I--itu bukan berarti aku suka dia dalam mak--makna romantis. Aku, aku sungguhan kagum! Sungguh!

Neta, pernah bilang padaku--saat zaman kita SD dulu--kalau dia sangat percaya, bahwa selama ada kemauan, pasti ada jalan. Hebatnya, dia mengatakannya saat dia kesulitan turun dari pohon jambu air di halaman rumahku. Dia terus berusaha turun walaupun akhirnya harus jatuh dan menangis.

"Drew, enggak bisa nyambung--" lapor Neta, tersekat di akhir kalimat. Aku terbangun dari lamunan, menyadari tanganku masih sedingin tadi. Dia, Neta, menggaruk kepala, frustrasi, lalu menghela napas panjang sebelum berkata, "Tidak aktif."

Chania kontan terisak, menyandar di bahuku. Neta, dia menunduk. Memikirkan apa, aku tak tahu. Ekspresinya terlalu kompleks. Lalu, aku, aku bergeming seperti biasa. Badan bergetar, otak membeku. Aku sungguh mati akal. Bahkan caranya bernapas, aku lupa. Aku, merasa sesak. Aku, ingin membuang napas, tetapi aku malah terisak! Aku benci diriku yang begini!

---

Aku mengelap air mataku, yang di wajah dan yang di hidung. Aku berusaha berhenti menangis. Tak semudah kedengarannya, sih. Namun, aku malas saja menjelaskan prosesku berhenti menangis.

Langit masih kelabu, samar-samar terlihat dari balik kaca jendela yang seluruhnya tertutup embun. Udara dingin menyeruak masuk lewat ventilasi di atas jendela. Aku, Neta dan Chania, duduk berdampingan. Tidak satu pun dari kami yang berbicara, atau setidaknya mengeluarkan suara.

Kami semua sibuk dengan lamunan masing-masing. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Neta. Dia selalu sulit ditebak. Sebelum dia menggurat lantai--kebiasaannya--aku takkan bisa menyimpulkan apa pun.

Berbeda dengan Chania. Chania, meski diam, dia mudah dipahami. Aku yakin sekali. Walau matanya membaca sesuatu di ponselnya, jiwanya absen, mencari Danang.

---

Aku tidak bisa diam saja! Apalagi ini sudah benar-benar malam. Apalagi Chania sudah mulai membatu, kehilangan semangat, seperti waktu itu. Apalagi melihat Neta, samar-samar terlihat berjongkok sambil, aku yakin, menggurat lantai. Hampir-hampir frustrasi.

Aku harus keluar! Sungguh. Kami harus keluar! ... Tetapi--lupakan. Aku harus keluar. Benar, harus. Keluar, lalu mengecek keadaan, menjaga kedua sahabatku, sambil berlari, menuju rumah.

Home Run [7/7 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang