TIGA

3.3K 395 147
                                    

Aku termenung.

"Memang harus yakin, 'kan? Maksudku, apa kamu lihat ada senjata lain di sini?" sahutku. Neta diam sambil mengusap dagunya, kemudian dia menggeleng--sepertinya--sedih.

"Kalau begitu, ayo. Chania hati-hati, jangan teriak," bisikku agak samar, tetapi masih bisa terdengar.

Aku mulai mengeratkan kembali peganganku, berkomat-kamit berdoa, kemudian membuka pintunya. Berlari adalah keahlianku. Aku traceur.

Srrrrrrreg ....

Aku membayangkan makhluk itu berkulit hijau pucat dengan busukan di mana-mana. Bau bangkai yang memuakkan menyeruak dari tubuhnya. Dia tiba-tiba menerjang begitu saja sesaat aku membuka pintu. Makanya sebagai respon, aku langsung mengayunkan kepal tanganku ke wajahnya dan menusukkan penggaris besi ke dalam rongga mulutnya. Kami lalu berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi ....

Aku menerangi koridor dengan cahaya lampu LED ponselku, berusaha mempersiapkan diri melihat mereka. Melayangkan cahayanya ke sana-kemari, memeriksa menyeluruh.

Di luar hanya koridor sepi dan gelap yang menunggu kami. Tidak ada sedikit pun tanda kehidupan, kalau mayat hidup bisa disebut kehidupan juga. Lega memenuhi paru-paruku.

"Fiuh ...," desahku. Terdengar bunyi serupa di belakangku. Mereka juga lega.

"Ternyata kita hanya paranoid tadi?" tanyaku sambil terkekeh caba. Aku tak lagi menyembunyikan suaraku. Aku malah merasa berbicara lebih keras dari biasanya.

"Aku rasa, mungkin saja kita paranoid. Soalnya tidak ...."

"Teman-teman ...."

"... Terdengar apa pun sekarang."

"Teman-teman! Ayo cepat lari!" seru Chania dengan bisikan. Chania mencengkeram tanganku. Juga mencengkeram tangan Neta, sepertinya. "Mereka--" Dengan tangannya yang bergetar, Chania menunjuk ke arah pintu kelas sebelah yang terbuka.

Titik-titik merah melayang-layang seperti menatap kami. Apa itu, aku sendiri bingung. Melihatnya membuatku bergidik ngeri. Mereka menatap kami walau tatapannya terlihat kosong.

"Ah--" Benar, mereka melihat kami.

"Mereka melihat kita?" tanya Neta, menatap ke arahku. Itulah yang aku katakan barusan!

"Drew ...." Chania beringsut pindah ke belakangku, sementara Neta ada di depanku. Neta mengangkat tangannya, melayangkan cahaya ponselnya ke arah titik-titik merah.

Aku terkaget bukan main
dan langsung mundur perlahan dengan gaya mundur dari hadapan singa: sedikit menunduk, merentangkan tangan, sambil terus menatap wajah-wajah busuk yang ada di hadapan kami!

Putar arah, kami lari tunggang-langgang. Langsung terbirit, tanpa delay. Neta paling depan, Chania di depanku, dan aku menjaga mereka dari belakang. Seperti amanat Danang.

Aku berlari sekencang yang bahkan belum pernah aku lakukan sebelumnya. Aku berusaha tidak panik, yang terbukti tidak berguna. Di belakangku, mereka banyak sekali. Sepuluh? Mungkin lebih bisa saja kurang. Namun, satu yang pasti, mereka banyak! Apa masuk akal jika aku tenang? Hah?

"Et dah, hati-hati, Chan!" teriakku. Ponsel Chania jatuh dan seketika cahayanya mati. Aku hampir menabrak Chania yang sedikit oleng. Wajar saja sih, mereka panik. Gelap pula koridornya.

"Maaf, aku nincak botol," jelasnya. Kentara sekali suaranya bergetar. Mungkin saking takutnya, dia bahkan tidak repot menyempatkan diri berhenti untuk mengambil ponsel mahalnya dan malah lanjut berlari. Lebih kencang dari biasanya.

Home Run [7/7 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang