Menghitung hujan dengan percaya, bahwa suatu hari kan menemukan bahagia Kau aku dan mimpi untuk memeluk sang belahan jiwa. Yang dengannya jantung ini berdebar lebih kencang Kau dan aku. Kita selalu bersama. Bangun sayang, lepaskan mimpimu Ada aku di sini, di dunia nyata Menunggu untuk mencintaimu.
Langkah Nana langsung terhenti, dia tertegun dan kemudian menatap Diandra dengan pilu. Ada lelaki itu, Axel.. lelaki yang menemuinya di kampus dan mengungkapkan semuanya kepada Diandra. Lelaki itu sekarang berdiri di sebelah Diandra, lengannya merangkul perempuan itu seakan menopangnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Tetapi pada detik yang sama, Diandra menoleh dan menatap Nana yang berdiri tertegun di ujung koridor, perempuan itu tampak sama terkejutnya dengan Nana, ekspresinya berubah jadi pucat pasi, sementara Nana sendiri berdiri di sana dengan bingung, tak tahu harus berbuat dan berkata apa.
Sementara itu, Nirina menoleh ke arah Nana yang membeku dan menatap bingung, tetapi kemudian dia tidak peduli, dengan cepat digandengnya Nana mendekat,
“Dokter, apakah yang ada di sana Reno, teman saya?” Nirina bergumam cepat, menyela percakapan Dokter itu yang sepertinya sedang menjelaskan sesuatu kepada Diandra,
Dokter itu menoleh, menatap Nirina dengan bingung, sementara itu Nana berdiri di belakang Nirina dengan wajah merah padam, sedikit kebingungan. “Oh... teman Reno.” Dokter itu tersenyum, “Reno tidak apa-apa nona, tetapi kaki kanannya patah sehingga untuk sementara setelah kami melakukan operasi, dia harus duduk di kursi roda, selain itu kami telah memeriksa seluruhnya, ada beberapa memar, tetapi tidak ada gegar otak.” Dokter itu lalu mengalihkan pandangannya kembali ke arah Diandra, “Kami akan menunggu kedatangan orang tua tunangan anda, untuk menjelaskan dengan lebih terperinci .”
“Ya, mama dan papa akan segera datang.” Diandra segera menjawab, berusaha tidak peduli akan keterkejutan di mata Nana ketika dokter itu menyebut Diandra sebagai tunangan Reno. Ya. Diandra memang memperkenalkan diri kepada dokter itu sebagai tunangan Reno, meskipun dia tadi merasa Axel sedikit menegang di sebelahnya ketika dia mengatakan itu.
Diandra lalu menyalami dokter itu, mengucapkan terima kasih dan kemudian dokter itu berpamitan pergi.
Sementara itu mereka berempat berdiri dengan canggung di ruangan itu, dalam keheningan. Dalam kamar yang berdinding kaca, nampak Reno yang masih tak sadarkan diri berbaring diam dalam ketidaksadarannya. Nirina sendiri menjadi canggung ketika mendengar dokter tadi menyebut perempuan di depannya itu sebagai tunangan Reno. Seketika Nirina sadar kalau perempuan itu adalah Diandra, tunangan yang ditinggalkan Reno demi mengejar Nana.
Lama sekali keheningan yang menyesakkan itu, Nana dan Diandra sama-sama membeku, dalam suasana yang canggung, sampai akhirnya Axel berdehem memecah suasana,
“Eh... kami rasa kami akan duduk di sebelah sana.” Axel setengah menghela Diandra ke arah kursi tunggu di ujung di dekat pintu kamar Reno. Mereka memang belum diizinkan masuk dan mengunjungi Reno karena lelaki itu masih dalam penanganan.
Mata Nana mengikuti ke arah Diandra, yang menghindari kontak mata dengannya dan ke arah Axel yang berjalan di sampingnya dan kemudian mengajaknya duduk di kursi itu. Sampai kemudian Nirina menyenggol tangannya, mereka saling bertukar pandang penuh pengertian,
“Ayo kita duduk di sebelah situ.” Nirina mengajak Nana duduk di kursi tunggu lain yang agak jauh dari tempat Axel dan Diandra duduk.
Dalam hati Nana sungguh bersyukur karena tadi dia bersama Nirina, tak bisa dibayangkan betapa canggungnya dia tadi kalau datang ke sini sendirian, mungkin Nana akan benar-benar bingung dan membeku saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Menghitung Hujan
RomanceBagaimana jika jantungmu hanya bisa berdebar untuk satu orang perempuan? Bagaimana jika jantungmu tetap setia meski raga sudah berganti? Reno tidak pernah menyangka dia akan begitu mencintai Nana, bahwa perempuan itu akan menjadi pusat kehidupannya...