28

528 40 5
                                    

Aqila melangkahkan kakinya dengan ragu, pikirannya berkecamuk antara ingin bertemu atau harus kabur.

Ia menatap ke arah laki-laki di ujung sana, Maxon duduk memandangi jendela sehingga hanya menggambarkan bagaimana paras laki-laki itu sekarang dari samping.

Sepenglihatan Aqila sekarang, tubuhnya kini semakin jangkung, rambutnya memanjang, dan sebuah kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Aqila kembali melanjutkan langkah menuju Maxon hingga laki-laki itu sadar akan kehadiran perempuan yang dulu sempat dekat dengannya.

Rambutnya dipangkas pendek, tubuhnya terlihat lebih kurus dan tinggi semampai. Maxon membenarkan letak duduknya--lebih terlihat salah tingkah dengan penampilan Aqila yang benar-benar berbeda.

"Hai Max," sapa perempuan tersebut dengan canggung.

Maxon otomatis berdiri dengan kikuk dan mengulurkan tangannya pada bangku di depannya, "Duduk Qil."

Aqila hanya tersenyum, kemudian dia duduk tepat dihadapan Max. Matanya tidak bisa berhenti memperhatikan cewek tersebut.

"Kok gue ngerasa kayak formal banget ya, kayak ketemu siapa aja."

Maxon tertawa canggung dengan ucapan Aqila yang sebenarnya berusaha mencairkan suasana, dalam hati Max tengah merutuki dirinya yang terlihat bodoh.

"Gak mesen apa-apa?" Tanya nya akhirnya buka suara, Aqila menggeleng lalu melirik jam tangannya.

"Gak lama kan? Gue ada keperluan juga."

Max terlihat gusar, entah bagaimana dia harus memulainya, dia benar-benar terlihat seperti cowok norak yang tidak pernah berhadapan dengan cewek.

Efeknya kok bisa separah ini sih ketemu dia doang, Batinnya.

"Max?"

"Eh? O-oh iya, anu--" Max menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Gue udah putus sama Devina."

Aqila terlihat biasa saja, "Wah turut sedih Max."

Max menatap cewek itu dalam-dalam, dalam hati takut perasaan cewek itu sudah bukan untuknya.

"Gue gak sedih sih, gue malah takut orang yang sebenernya gue mau malah pergi juga."

Aqila mengerutkan keningnya dan tertawa hambar, "Sorry gak ngerti."

Hatinya kini berpacu sangat cepat mendengar ucapan Aqila, ia seketika teringat saat-saat Aqila bertanya ulang pada hal yang sebenarnya sudah jelas, hanya saja tidak mencapai otak cewek itu.

"Gue ... cinta sama lo selama ini."

Aqila sukses dibuat kaget olehnya, sumpah, ia pikir Max bertemu dengannya untuk berbicara hal lain, dia sama sekali tidak tahu bahwa selama ini Max juga mencintainya, dia pikir hanya bualan sahabat-sahabatnya dan perasaan tidak enak Max kepadanya.

Padahal Aqila sudah mempersiapkan kata-kata jikalau cowok itu meminta maaf karena hanya diam saat dia menyatakan perasaanya langsung pada cowok itu.

"Kenapa kok ... kok bisa?!" Maxon berhasil membuat hatinya yang terasa kosong kini berpacu lagi dan terasa lebih hebat.

"Sebenernya waktu kita sampai di Indonesia gue udah nyaman sama lo, sampai lo bilang lo lagi suka sama orang, rasanya gue mau partai tuh cowok," Maxon tertawa hambar, "Tapi di sekolah temen-temen pada nyuruh gue buat deket sama Devina, gue dengan begonya mau, dia juga responnya baik dan gue malah jadi suka sama dia, lalu kita jadian."

Aqila menatap Maxon lurus-lurus sambil menutup mulutnya dengan tangan kirinya mendegar curahan Max.

"Gue bener-bener gak ngerti sama perasaan gue waktu itu, dia terus ada di sisi gue sedangkan lo, hubungan kita sekedar chat. Jadi gue spontan nge-chat lo kalau gue udah jadian, dan tololnya lagi gue gak sadar kalau disaat itu lo juga cerita sakit hati, pasti gara-gara gue."

"Gak usah kepedean," Max menatap Aqila yang memutarkan kedua matanya, "Lanjutin cepet, mau denger."

Max tersenyum miring sebelum melanjutkan, "Waktu lo minta ketemu berdua di tempat Tio gue bener-bener gak habis pikir kalau lo juga suka sama gue. Asli gue bingung disitu Qil, makanya gue diem. Gue ngerasa goblok banget sia-siain lo, gue pengin lo jadi milik gue, tapi gue inget kalau gue udah sama Devina."

Aqila memijat hidungnya sebentar lalu memandang keluar jendela dengan lemas, "Kok bisa ya..."

"Gue cinta lo Qil, maafin gue atas kejadian waktu itu."

Aqila menatap Maxon yang menatapnya sungguh-sungguh, dia tidak bisa membohongkan hatinya kalau dia masih mencintai laki-laki dihadapannya ini, jantungnya terus berdenyut cepat, sedikit sakit, sedikit senang, sedikit kecewa, semua perasaannya bercampur aduk.

"Gini ya Max," Aqila membenarkan duduknya, "Gue maafin lo dan gue juga cinta sama lo tapi--gak gini, aduh gimana ya, gue ngerasa ini terlalu gampang, lo tuh terlalu enak. Bukan maksudnya gue mau nyusahin lo, tapi gue juga mau buat diperjuangin."

Max mengangguk, "Gue ngerti kok."

"Semacam itu, gue mau ngerasain gimana di kejar-kejar sama cowok yang super cuek dulu, tapi sekarang dengan enteng ngatain dirinya sendiri bego, goblok, tolol depan cewek yang dia suka. Please Max, lo gak serendah itu. Duh, untung gue pengertian."

Maxon terkekeh menyadari betapa cerewetnya cewek dihadapannya ini, dia merasa kalau cewek itu sudah berubah banyak selama mereka tidak bertemu.

"Ya? udah kok udah nih mau keluar bentar lagi--eh apaan sih babi gak usah masuk kesini caper banget--nggak, nggak ada cewek!--dih siapa juga yang cemburu, udah ya bye."

Senyum yang daritadi mengembang di bibir Maxon, kini berangsur menghilang mendengat percakapan Aqila dengan seseorang lewat telpon.

"Siapa?" Tanyanya dingin,

Aqila bangkit dari kursinya, "Bukan berarti gue juga cinta sama lo, terus gue begitu aja bisa nerima lo, semua butuh proses lagi, good luck ya!"

Cewek itu menepuk pundak Max lembut dan tersenyum hangat, kemudian pergi meninggalkannya yang masih termangu di tempatnya.

Ia rasa kini karma tengah menghantamnya penuh dendam, persis seperti yang diaminkan Aqila tahun lalu atas sumpahan cowok itu sendiri.

A/N: i know ini gak jelas but, vomments ya! wkwk 1 chap lagi tamat horay!

WhatsappWhere stories live. Discover now