3 - Rencana Riana

27.7K 1.5K 15
                                    

Potongan 3....

Hampir setiap pagi selama tiga hari belakangan ini, Riana mengalami fase pada awal kehamilan yakni rasa mual dan muntah yang tak kunjung reda. Hal tersebut benar-benar menyiksa dirinya. Energi wanita itu seakan turut habis terkuras, wajahnya kian tampak pucat.

"Aish, dengan wajah seperti ini pasti para staff di kantor akan mengira aku masih sakit," gumam Riana di depan cermin sembari memerhatikan penampilannya sendiri. Bahkan, make up tidak bisa berperan aktif dalam menutupi wajahnya yang pucat pasi.

Riana sudah izin tidak masuk kantor dua hari lamanya karena rasa mual yang semakin parah menyerang. Namun, hari ini ia memilih untuk pergi ke kantor dan kembali bekerja karena merasa tak enak dengan para pegawainya.

.......................

Riana tiba lebih awal. Sedangkan, jam kantor dimulai pukul sembilan pagi. Suasana pun tampak lenggang dan sepi karena belum ada pegawai yang datang. Hari ini, Riana juga belum berani menyetir. Takut dengan rasa pusing nanti tiba-tiba menyerang serta menyebabkannya kehilangan konsentrasi dalam mengemudi. Riana memilih menumpang taksi.

Setelah masuk ke dalam bangunan kantor, wanita itu lalu memutuskan duduk sejenak di sofa, terletaknya di ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu atau klien. Kepala Riana masih terasa sedikit berdenyut sampai sekarang. Cacing-cacing di perutnya juga mulai memberontak.

Maklum, Riana belum makan apa pun sejak kemarin malam. Seleranya mendadak hilang. Melihat beberapa jenis makanan yang selama ini menjadi favorit-nya saja akibat rasa mual yang menyerang tanpa permisi terlebih dahulu.

Dan dii tempat yang sama, Dion memandang secara intens wanita yang tengah duduk di sofa sambil memijat-mijat tengkuk, wajah wanita itu tetap tampak pucat di matanya sejak terakhir mereka bertemu. Hampir dua hari, Dion tidak melihat sosok Riana di kantor. Menurut rekannya yang lain, atasannya itu tak bekerja karena sedang sakit. Ia pun tidak mampu melepas kekhawatiran hingga detik ini.

Denyutan tak kasatmata di dalam dada mengguncang kestabilan emosi Dion. Ia yakin ada yang Riana tengah sembunyikan darinya. Hal tersebut tentu berkaitan erat dengan kabar kehamilan yang sempat mereka debatkan tempo hari. Dion hanya tidak ingin Riana menderita sendirian karena perbuatannya, hanya itu. Sungguh.

Dan entah dorongan dari mana yang membuat Dion memberanikan diri untuk mendekati Riana. Ada semacam rasa rindu atau apalah itu yang tak dapat dia ungkapkan dengan gamblang. Namun, masih cukup bisa untuk dirasakan. Dion juga tak tahu mengapa, semua muncul begitu saja.

"Bagaimana kabarmu, Riana? Apa baik-baik saja? Masih sakit?"

Dion memosisikan diri berlutut tepat di hadapan Riana. Wanita itu yang tidak menyadari kehadiran Dion pun sontak terkaget. Secara refleks tangan kanan Dion terulur ke depan menuju pipi Riana dan bermaksud untuk menyentuhnya.

"Apa-apaan kamu hah!" seru Riana refleks seraya menepis tangan Dion dengan kasar.

Wanita itu hendak bangkit. Namun, dengan pelan Dion mendorongnya untuk duduk kembali. Untung saja tak ada orang lain di kantor saat ini, hanya mereka berdua. Jadi, akan mudah menghindari kecurigaan.

"Wajahmu pucat. Apa kamu masih sakit?"" tanya Dion menunjukkan kecemasannya tanpa ragu. Begitu juga dengan sorot kedua mata pemuda itu memancarkan kecemasan yang kentara.

"Bukan urusanmu!" seru Riana sinis. Ia mendorong tubuh Dion supaya menjauh darinya. Riana lalu mencoba bangkit lagi dari sofa. Dan kali ini berhasil.

"Jangan menghindariku!" peringat Dion dengan sedikit penekanan dalam suaranya.

Sementara itu, Riana terus berjalan dengan langkah tegap dan mantap, mengacuhkan perkataan Dion yang sama sekali tak berarti atau memberi dampak penting kepadanya.

Just For Our Baby, Not U (IA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang