Chapter 2

635 27 0
                                    


Kembang api menghiasi malam yang kelam. Dentuman-dentuman yang terus menerus tak hanya membentuk lukisan tetapi juga orkestra. Siapapun yang melihat akan terbawa suasana hangat meski tak seluruh dari mereka merasakannya. Seperti halnya dua makhluk yang baru saja dilanda kehilangan.

Mata Ify berkaca-kaca memandang langit yang sepertinya kewalahan menampung letusan.Dentuman itu mengingatkannya akan peristiwa ulang tahunnya. Tentu mengingatkannya akan malam terakhir ia melihat ayahnya. "Andai aku tahu Ayah akan pergi secepat ini, mungkin aku tidak akan melepaskan pelukan itu."

Ify teringat sesuatu, berlian. Yah, berlian, berlian apa maksudnya?

****

Dalam kebisuan menanti sesuatu yang tak akan pernah kembali. Meringkuk lm dinginnya malam. Apa yang salah? Apkah waktu sudah berjalan terlalu lama? Jika iya, mengapa seakan cepat berlalu hingga tanpa disadari kini hanya tinggal kenangan. Acha Krysabel. Bukankah kita punya tujuan hidup yang sama? Mengapa justru kau lebih mendahului.

Kau bahkan tak melihat betapa indahnya langit saat letusan itu membaur.Entah mengapa ulu hati kian tertohok setiap kali kembang api berbunyi. Letusan itu seakan menghina kemirisan hidup. "Aku akan cari pembunuhnya!"

****

Masih dengan nyeri di kepala, Ify melangkahkan kakinya. Lingkaran hitam disekitar kelopak matanya sudah cukup menjadi bukti bahwa gadis itu tidak tidur semalaman. Tak ada sedikit pun garis lengkung yang tercetak di bibir tipisnya. Hanya wajah kusut penuh duka.

Kakinya terus melangkah menuju kantor Ayahnya, Denizer Holding. Tak ada niat sedikit pun mengambil alih perusahaan Ayahnya, hanya sekedar menjalankan moto hidup harus lanjut terus.

"Wajah mu sangat pucat, Fy. Ayo kita minum teh dulu!" Shilla melangkah berusaha menyamakan posisinya dengan Ify.

Minum teh? Tawaran yang bagus. Tapi ada yang lebih bagus lagi. Mencari berlian itu, lalu terbebas dari ancaman dua pria gila kemaren.

"Ah.. tidak usah Shil. Aku baik."

Dengan cepat kaki mungil Ify berpindah ke ruangan kerja Ayahnya yang kini resmi menjadi miliknya. Meninggalkan Shilla yang tampaknya tak mau repot-repot memaksa Ify untuk minum teh bersama dirinya.

Mata Ify bergerak lincah mencari tempat yang sekiranya dihuni oleh berlian. Hatinya menggerutu kesal karena pria aneh itu hanya menyuruhnya mencari berlian, sementara ia sama sekali tidak diberi tahu ciri-cirinya.

Nothing. Tak ada apa-apa kecuali hanya ornamen ruangan atau berkas-berkas. Ify mengacak rambutnya frustasi. Hanya tinggal esok baginya untuk menyerahkan berlian itu. Jangankan menyerahkannya, letaknya saja Ify tidak tahu.

Nomor tak dikenal. Hanya itu yang tampak dari indra penglihatannya saat memeriksa telepon gnggam. Dengan lihai gadis berdagu tirus itu menekan tombol hijau.

"Selamat pagi cantik. Apa kau sudah menemukan berliannya?"

Ify meneguk ludah dalam sekedar membasahi kerongkongan yang mendadak mengering. Bagaimana pria ini tau nomor handphonenya? Jantungnya memompa lebih cepat, keringat dingin sudah mengalir dari dahinya. Siapa mereka?

"Kau datang ke pelabuhan. Dalam waktu sepuluh menit kalau tidak datang kau akan tahu apa akibatnya!"

****

"Aku mohon kembalilah ke PAM, Rio!"

"Tidak kak. Aku akan pindah tugas ke Istanbul. Dan aku akan menemukan pembunuhnya."

Cinta Tanpa SyaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang