Bukan Alif namanya jika dia tidak bangun kesiangan. Juga, bukan Chyntia namanya jika dia peduli pada Alif padahal tahu kalau Alif akan terlambat.
Lagi pula siapa dia? Alif hanya tetangga Chyntia, yang dianggapnya tidak berguna. Alif pamannya, tapi Chyn tidak mau mengakuinya karena mereka seumuran! Bayangkan saja sendiri! Anehnya ... punya paman yang seumuran.
Usia Alif genap enam belas, hari ini, sedangkan Chyntia sudah berulang tahun terlebih dahulu. Intinya, Alif lebih muda dari Chyntia. And yet, Chyn harus memanggil Alif dengan sebutan paman!
Chyntia meremas bungkus bala-bala yang masih saja dia pegangi walau isinya sudah raib. Dibuangnya sampah tidak berguna itu, dengan sembarang--membuat robot penyapu jalanan berdecak kesal.
Chyn sedang bad mood. Dia ingin memakan setiap manusia yang dia lihat, saking kesalnya. Kenapa sih dia selalu sulit untuk dibangunkan? batinnya dalam hati, yang membuat logikanya berpikir keras--untuk menghukum kemalasan Alif.
Sedikit mengerikan, Chyn tiba-tiba tersenyum jahil. Kacamata gaya yang tidak dia perlukan kini dia lepaskan, lalu dia masukkan ke dalam kantong roknya. Dia menyibak poni rambut sambil berkata, "Aku ada ide untuk membuat si Kelinci itu kapok!"
Dia lalu berlari, mengejar angkot yang baru saja melewatinya. Teriakkannya nyaring, tapi suaranya berat. Mengerikan. Terlihat jelas penumpang angkot merasakan teror dari gelombang suaranya.
Sementara Chyn sudah sampai di sekolah, Alif baru saja bangkit dari hibernasi, padahal dia seekor kelinci--kata Chyntia.
Alarm yang suaranya sekencang pesawat jet pun dia abaikan jika malas sudah menawan hati.
Tangannya meraih-raih sesuatu. "Remot, mana remot, ugh!" gumamnya tidak jelas.
Setelah jengkel karena remote-nya gagal dia temukan, dia spontan duduk terpaksa, dengan mata setengah tertutup. Rambut gondrongnya menutupi telinga. Iler basah masih bersarang di pipi. Dia mengusapnya menggunakan punggung tangan, sebelum itu menetes ke atas ubin.
"Fak, Chyntia enggak bangunin." Dia mengumpat pelan, namun tanpa penyesalan--apalagi kekesalan. Dia meraih kacamata di bawah lampu tidur, lalu memakainya. Di saat yang sama, dia menemukan remote-nya, tepat di sampingnya. Dia langsung menyeringai, bergumam, bodohnya aku.
Alif menyambar remote lalu menekan beberapa tombol untuk membuka gorden, mematikan lampu, dan menyalakan kursi roda hasil modifikasi yang biasa dia gunakan untuk berjalan dari kasur menuju kamar mandi.
Jangan salah, Alif adalah jenius, walau pemalas. Eh, tidak. Justru karena malaslah, dia bisa menemukan penemuan jenius seperti gorden telekontrol, lampu telekontrol, kursi roda telekontrol, bahkan pintu telekontrol. Pintu yang terbuka hanya dengan satu tekanan tombol begitu!
Canggih? Tidak juga. Cuma hiperbola. Ini 2022, semua orang memiliki penemuan canggih dari pelajaran mechatronics-gabungan dari ilmu kerobotan dan elektronik.
Sikat gigi otomatis berwarna ungu dia nyalakan setelah pasta giginya dioleskan. Alif malas-malas berdiri, padahal dia sudah lelah setelah menekan beberapa tombol remote.
Pukul sembilan lebih, Alif baru keluar kamar. Sepatu kotor yang setiap hari dia pakai itu tidak pernah dia ganti. Dia terlalu malas untuk mencuci sepatu. Dia langsung menuju garasi, tepat setelah memakai sepatu.
Jika nanti kaos kaki yang dia pakai sudah terlihat coklat, maka Alif akan mencucinya--berikut sepatunya. Sekalian, biar tidak buang-buang energi. Itu sudah menjadi komitmen Alif dalam hidupnya. Dan Alif adalah pria yang menggenggam teguh komitmennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ChyntiAlif [4/4 End]
Teen FictionAlif adalah siswa SMA yang pemalas, namun tampan. Chyntia adalah gadis tomboi berkacamata tebal. Bersama, mereka bertemu hampir setiap jam dalam sehari. Mereka bukan sahabat, mereka bukan musuh. Hanya tetangga biasa yang saling mencurhatkan masalah...