Masih terpatri dalam ingatan Chyntia, kebodohan Alif yang memalukan. Dia jujur ingin tertawa dan membuat Alif tersadar kalau dirinya sungguh memalukan.
Coba pikir sendiri, manusia macam apa yang bersepeda dalam balutan piyama bergambar kelinci? Manusia macam apa pula yang bersepeda memakai sandal kelinci? Chyntia tersenyum, dia tersentuh. Alif beneran khawatir sama aku, sampai lupa mengganti baju. Aku tahu, kok, aku tahu. Dia membatin, lalu bergumam, "Terima kasih, Om."
Lalu, ponselnya bergetar lagi. Memuakkan! Mau apa lagi sih dia?
Sudah 18 missed call dan 58 chat terpampang jelas di ponsel Chyntia. Semua sengaja dia abaikan, seperti Bima yang mengabaikannya.
Chyntia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia kesal, atau jengkel, atau marah kepada siapa pun pengirimnya--yang pasti adalah Bima yang mengemis kata maaf. Cih, basi, hardik Chyntia sambil meludah dalam hati.
Lalu, lagi, ponselnya bergetar lama. Sebuah panggilan masuk--yang mendorong Chyntia sampai ke ujung tanduk.
Dalam kemarahan memuncak, Chyntia menyambar ponsel, menjawab panggilan, lalu berteriak, "Mau apa lagi kamu, Tukang Gombal sialan?!"
Matanya melotot tajam. Suaranya melengking tinggi. Sudah pastilah kalau dia terlampau marah.
---
Ester akan menyanyi di panggung sebuah kafe di dekat pusat kota, besok malam. Perasaannya meletup bahagia, karena Alif sudah berjanji akan menontonnya. Sendiri saja, hanya Alif, tanpa keponakannya.
Ester terbaring dangan kaki menggantung di tepi ranjang. Dia tersenyum sendiri, sambil menyelam di dalam lautan asumsi.
Dalam imajinasinya, Alif tersenyum kepadanya sambil duduk bertopang dagu. Sesekali dia menyedot minumannya: mango juice murni tanpa pemanis tambahan, sambil bergumam, Ester saja sudah cukup manis, kok.
Ester bergegas menggeleng cepat, terlalu malu untuk lanjut berfantasi. Malu--kepada teman imajinasinya yang akhir-akhir ini jarang terlihat lagi.
Dia melirik ke arah jam, lalu terkejut ketika tahu kalau ini pukul sebelas. Ya ampun, sudah dua jam aku melamun!
---
Alif masih melamun di atas kasur, sambil menatap monitor besar yang tersimpan tepat di atas ranjang--tertempel di langit-langit kamar. Pandangannya kosong, padahal dia sedang memutar film dua dimensi tentang zombi dan kawan-kawannya--genre film kesukaannya.
Sudut matanya menangkap tiga digit angka, 2:13, yang terpampang pada jam meja. Menyadarinya, dia mendengus lemah. Sejak pukul sembilan tadi dia berbaring. Namun otaknya menolak tidur, meski tubuhnya terlampau lelah.
Bayang-bayang kejadian tadi sore membuat Alif menyengir getir. Dia kasar menggaruk pipi, merasa kecewa dengan Bima.
Dia pikir, Bima takkan begitu lagi setelah dulu pernah dihajar sewaktu mereka masih SMP. Tapi mungkin, karena pada dasarnya dia seorang keledai, makanya berani begitu lagi.
Bukan cuma itu, Alif juga merasa bingung. Sungguh. Dia merasa dibohongi selama enam belas tahun dia hidup.
Apa yang dikatakan kedua kakaknya tadi, masih terngiang di telinganya. Apa maksudnya semua ini? tanya Alif, entahlah pada siapa. Alif merasa dirinya hanya seonggok sampah. Dia merasa dirinya ... bodoh.
Di satu sisi dia senang, namun di sisi yang lain dia sangar sedih. Jika begitu kenyataanya, AKU INI SIAPA? Alif melempar bantal ke sembarang arah. Emosinya kian sulit untuk dibendung.
---
Ini hari Ester. Walau pun malas minta ampun, Alif tetap memaksa diri karena dia sudah berjanji. Seperti yang sudah pernah dibahas, Alif adalah pria yang memegang komitmen.
KAMU SEDANG MEMBACA
ChyntiAlif [4/4 End]
Teen FictionAlif adalah siswa SMA yang pemalas, namun tampan. Chyntia adalah gadis tomboi berkacamata tebal. Bersama, mereka bertemu hampir setiap jam dalam sehari. Mereka bukan sahabat, mereka bukan musuh. Hanya tetangga biasa yang saling mencurhatkan masalah...