Anya sendiri tidak percaya kepada deretan kata yang meluncur keluar begitu saja dari mulutnya. Jadi, kerena kata-katanya sendiri, pipi Anya kembali memerah. "Eh--eh,"
Arga tersenyum geli "Sshh..." jari telunjuk cowok itu membungkamkan bibir Anya. Arga tersenyum miring, meraih dagu Anya dan menariknya supaya mendekat ke wajah Arga.
Anya membeku. Sial, ia ingin mengelak tetapi rasanya tak bisa. Karena mata teduh berwarna cokelat milik Arga telah mengunci matanya. Wajah mereka semakin mendekat. Apa Arga akan menciumnya? Sekarang? Disini?
Ketika wajah mereka hanya berjarak beberapa cm, Anya menutup matanya.
Anya meringis ketika merasakan dahinya disentil, pelakunya Arga, siapa lagi kalau bukan dia?
Anya membuka matanya sambil mengusap-usap dahinya yang menjadi korban sentilan Arga.
"Dasar kecil," ujar Arga setelah menyentil dahi Anya meninggalkan bekas kemerahan disana.
Anya cemberut ketika Arga berbalik berjalan meninggalkan Anya yang masih mengusap dahinya "Rese banget sih."
Ketika mendengar cibiran Anya, Arga berbalik menghadap Anya sambil menaikkan sebelah alisnya "Sakit ya?"
"Eh, jangan disentil lagi, sakit tau!"
Arga mengusap kening Anya dengan kedua ibu jarinya "Maaf deh," Anya mengerucutkan bibirnya sambil menunggu Arga selesai mengusap dahinya. "Dah." cowok itu tersenyum kecil "Pulang sama gue ya?"
*
"Yodah, gue balik ya," ujar Mitch.
Carl yang mendengarnya mengangguk sebagai tandanya. "Balik sono."
"Bye, yank."
"Najis lo, balik sono!" Carl terkekeh sambil menatap punggung Mitch yang mulai menjauh. Carl menyapu pemandangan koridor sekolahnya yang mulai sepi karena bel selesai istirahat sudah berbunyi.
Mata Carl tertuju kepada gadis yang berlari kecil. Dengan cepat, Carl menghampiri gadis itu.
Anya berhenti berjalan ketika Carl berdiri tepat di depannya. Carl bersandar pada loker-loker sambil menatap Anya dengan pandangan yang tak bisa Anya artikan.
"Kemarin kemana?" tanya Carl memastikan.
"Gak usah mulai lagi deh." jawab Anya. Gadis itu kembali berjalan melewati Carl.
Carl mengejar Anya dan menghadangnya, membuat Anya terlonjak kaget. "Gue nanya baik-baik, Anya."
Anya menghela napas, ia bukannya tidak mau memberi tahu Carl, tapi, ia takut kalau Carl nanti akan marah lagi jika mengetahuinya pergi bersama Arga.
Sebenarnya, Anya sama sekali tidak tahu apa masalah mereka berdua, sampai-sampai, Carl tidak menyukai Arga.
"Kemarin ke rumah Rita." bohong Anya.
"Nggak usah bohong."
"Terus, gue harus jawab apa?"
"Ke kafe Cecillia sama Arga?"
Anya terdiam. Bagaimana Carl bisa tahu?
"Kalau dengan bergaul sama Arga membuat lo menjauh dan bohong sama gue. Gue gak suka lo deket sama Arga." ucap Carl dengan wajah datar sambil melipat kedua tangannya di dada. "Kenapa lo menjauh, Nya?"
"Gue gak menjauh."
"Lo menjauh, selalu menghindari gue. Kenapa?" tanya Carl lagi. "Apa gue salah?"
"Gue cuma takut." Anya menundukkan kepalanya.
Aku takut. Takut jatuh lebih dalam untukmu Carl. Takut ketika aku terjatuh, tidak ada kamu yang menangkapku.
"Apa?"
"Nevermind."
"Mama nyuruh gue untuk antar lo pulang. Jadi, nanti pulang sekolah gue tunggu di gerbang."
"Gue pulang bareng Arga."
Carl menaikkan alisnya sambil menatap Anya dengan tatapan jadi-aku-ditolak? "Kalau gitu, hari Sabtu temenin gue jalan."
*
Hari Sabtu tiba, hari dimana Carl mengajak Anya untuk pergi. Bel rumah berbunyi, buru-buru Anya turun dari atas untuk membukakan pintu tetapi, ia mendengar suara pintu sudah dibuka, disusul oleh percakapan antara dua orang.
Anya menahan napasnya ketika matanya bertemu dengan mata itu. Mata yang selama bertahun-tahun menatapnya dingin. Lalu, suara berat dan tegasnya terdengar "Ada temanmu di depan." Anya mengangguk dan bersiap membuka pintu tetapi suara itu kembali menahannya "Sudah saya ingatkan berkali-kali. Saya tidak membayar sekolahmu hanya untuk bermain-main. Jadi, jangan sampai kamu menyesal atas kelalukanmu sendiri."
Setelah mengatakannya, Divan melengang pergi, meninggalkan Anya yang terdiam. Selain tapapannya yang menusuk jiwa, ternyata perkataannya juga. Ayahnya tidak pernah berubah, selalu dingin kepadanya. Setelah tersadar dan kembali ke realita, Anya membukakan pintu rumahnya, menemukan wajah kusut Carl.
Anya berusaha tersenyum kecil untuk menutupi ketegangannya tadi. Carl masih cemberut sambil melipat tangannya di depan dada. "Lama amat sih,"
"Tadi, ada barang yang ketinggalan." jawab Anya.
Carl mengangguk "Yuk."
Anya mengikuti Carl dari belakang, ketika mendengar suara kunci mobil dibuka Anya berhenti. "Kita naik mobil?"
Carl menaikkan alisnya "Iya, naik apa lagi?"
"Jangan selalu mengandalkan kendaraan pribadi, hitung-hitung ngurangin kemacetan di kota ini."
"Terus?"
"Kita naik bus aja,"
Awalnya, Carl tampak tak setuju, lalu mau tidak mau ia menuruti permintaan Anya yang menarik tangannya supaya berjalan menuju halte terdekat.
"Panas, Nya. Lo nggak takut item ya?" tanya Carl, matanya menyipit karena sinar matahari.
Anya menggeleng mantap dan masih semangat berjalan di depan Carl.
"Yah, Anya tetaplah Anya. Dari kecil sama aja."
Anya terdiam sebentar mengingat kenangan lama itu. Kenangan yang Anya harap tidak pernah kembali kesana "Ya, Anya tetaplah Anya yang gak pantes pakai gaun cantik dan cuma Laura yang pantes."
"Apa?"
"Nggak."
Sebutlah Anya kekanak-kanakan, ia tidak peduli. Anya berusaha menghapus kenangan lamanya dan menlanjutkan perjalanan.
Setelah, tiba di halte, ternyata ada bus yang sudah menunggu. Anya dan Carl berlari-lari kecil mengejarnya. Lalu, mereka memilih tempat duduk.
"Kita mau kemana Carl?"
"Entah. Tadinya kalau kita naik mobil gue juga nggak tau mau kemana, tapi, berhubung kita naik bus, kita tunggu aja busnya berhenti ke suatu tempat."
Anya mengernyit ketika melihat perubahan raut wajah Carl. Anya tahu, Carl mengajaknya pergi berdua karena suatu hal. Carl ingin melupakan masalahnya sejenak. Walaupun Anya tahu, tapi Anya memilih terdiam, mencoba memberikan Carl ruang.
Disisi lain, Carl masih mengingat percakapannya dengan Laura lewat LINE malam itu.
Acacia Laura: Carl.
Acacia Laura: Aku sayang kamu, Carl. Kamu harus tau itu.
Carl Anderson: Ya, aku tau.
Acacia Laura: Maaf Carl.
Carl Anderson: Tapi, kenapa? Kenapa kamu menjauh? Aku harus tau alasannya. Kalau aku salah, beri tahu aku, Ra.
Acacia Laura: Kamu gak salah, Carl.
Carl Anderson: Lalu apa?
Acacia Laura: Aku hanya butuh waktu dan ruang.
Carl Anderson: Bagaimana dengan kita?
Acacia Laura: Kita masih kita. Tapi, aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Setelah semuanya selesai, aku akan kembali lagi sama kamu. Aku masih sayang sama Kamu, Carl.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reason is You
Teen FictionGadis yang kerap dipanggil Anya itu tidak mempunyai kehidupan yang ia mimpikan. Kebahagiaan dan cinta. Dua hal yang selama ini hilang didalam diri Anya. Dua hal yang selama ini Anya butuhkan. Namun, apa daya? Kehidupan realitanya pahit. Sangat pahi...