Anya's POV
Seperti biasa. Charlie Anderson dan teman-teman konyolnya lewat. Semua pasang mata menuju kearah Carl dan teman-temannya. Dan seperti biasa juga, Carl membalas tatapan itu dengan senyuman kecil, Gabriel dengan pandangan datar, Aiden dengan kedipan, Mitch sibuk bermain ponselnya, dan Brayden dengan tatapan dingin mirip Gabriel.
Tapi, ketika mata Carl bertemu dengan mataku, senyuman hangat itu langsung memudar dan menjadi sedingin es. Aku mendengus dan balik menatapnya tak kalah dingin sambil mengunyah permen karetku.
Terdengar suara pekikkan girang dari para anak perempuan yang menyaksikan Carl dan gengnya melewati mereka. Aku memutar mataku dan melanjutkan perjalanan ku ke perpustakaan.
"Anya!"
Aku memutar badanku dan menaikkan sebelah alisku, Bu Riska melotot ke arahku "Rok dan jaket mu itu! Butuh berapa kali Ibu ingatkan?" ucap Bu Riska, aku menyengir dan membuat 'V' dengan jariku.
Bu Riska memang selalu menegurku tentang caraku memakai seragam. Katanya rok ku terlalu pendek, padahal menurutku biasa saja. Aku bertambah tinggi, bukan? Tidak seperti Laura dan kawannya yang sengaja memendekkan rok mereka. Lagipula, kenapa selalu aku yang ditegur? Dan jaket jeans berwarna hitam kesayanganku ini. Kenapa aku tidak boleh memakainya? Menyebalkan.
"Dingin, Bu!" ucapku.
Bohong. Aku malah merasa sangat panas siang ini.
Bu Riska masih marah-marah diujung lorong sana. Tapi, ku hiraukan. Aku langsung memasuki perpustakaan. Penjaga perpustakaan menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin karena betapa seringnya aku ke sini. Lagi-lagi aku mamerkan cengiranku lalu berjalan menuju tempat favoritku.
Ternyata, Rita sudah berada di tempat favorit ku. Rita adalah sahabat baikku. Dia ramah dan cantik. Tak heran, kalau ia mempunyai banyak teman.
Ia mendongak dan tersenyum ke arahku. "Hei," ia menutup buku yang ia baca "Mau bolos lagi?"
Aku menggidikkan bahuku "Mungkin. Lo sendiri?"
"Sekali-kali nemenin sahabat gue bolos, boleh kali ya." Rita menarik kecil pergelangan tanganku untuk mengisyaratkan ku duduk.
Aku meringis kecil dan menarik tanganku. Sial, pasti Rita akan curiga. Dan benar saja, gadis itu langsung memincingkan matanya dan menggulung lengan jaketku.
Ia menatapku penuh arti, "Sampai kapan lo mau terus kayak gini, Nya?"
Selalu seperti itu pertanyaannya ketika melihat luka sayatan di pergelangan tanganku. Aku sengaja memakai jaket setiap hari karena ingin menyembunyikan luka ini.
"Sampai rasa itu hilang." jawabku lirih dan kembali membuka gulungan jaketku.
"Please, don't hurt yourself again."
Aku tersenyum mendengarnya. Lalu, memeluknya erat. Hanya Rita yang aku punya. Hanya dia. Hanya Rita harapan yang aku punya.
*
Sudah hampir jam tujuh malam dan aku masih duduk di kursi kafe dua puluh emat jam ini. Aku kembali menggulung lengan jaket ku ini. Terlihat luka yang masih basah disana.
Aku menghela napas. Dan bertanya kepada diriku sendiri: kapan aku akan berhenti melakukan ini? Berusaha melarikan diri dari semua masalah di hidupku ini.
Kapan?
Aku hanya lelah. Lelah menampung segalanya. Lelah memikul beban ku sendiri. Tangan ku bergerak menutup gulungan jaket ku. Takut kalau ada yang melihat apa yang telah aku lakukan kepada diri ku sendiri.
Baru saja aku menutup mataku dan menyandarkan kepalaku di bangku kafe, suara itu terdengar:
"Boleh gue duduk disini?"
Aku kenal suara ini. Ini suara Arga. Aku menyipitkan mataku, melihat Arga berdiri di sebelah bangku di depan ku. Aku mendengus.
"Bangku disini masih banyak yang kosong." jawabku ketus. Memang benar, masih banyak bangku yang kosong dan laki-laki ini memilih duduk di depan ku!
"Tapi gue maunya disini." ujarnya lagi.
"Ya udah, gue aja yang pindah."
"Eitttss, jangan!"
"Kenapa?"
"Disini aja sama gue,"
"Kenapa?"
"Biar nggak kelihatan jomblonya."
"Terus, kalau duduk sama gue, kelihatan pacaran?"
"Kelihatan nggak jomblo."
"Sama aja."
"Hehehe,"
Arga terkekeh, aku memutar mataku. Terjadi keheningan diantara kami berdua. Dia Arga, sepupu tetanggaku, kalian masih ingat 'kan? Dia tumbuh menjadi laki-laki jangkung yang canggung ketika berada dia dekat para gadis.
Tapi, entah aku merasa ketika dia berada di dekatku, rasa canggungnya hilang. Aku sering terkikik geli ketika melihat Arga yang bersikap canggung ketika sedang bekerja kelompok dengan teman perempuan sekelasnya.
"Tadi Carl nyariin." ucapnya.
Aku menaikkan sebelah alisku dan meminta Arga mengulangi ucapannya "Apa?"
"Carl nyariin lo."
"Ngapain?"
"Katanya ada urusan sama lo."
"Paling disuruh ibunya supaya nganterin gue pulang."
Arga terdiam. Ia tahu maksudku. Ibu Carl adalah teman baik Bunda. Otomatis ibu Carl tahu tentang masalah rumah tangga Bunda dan merasa kasihan kepadaku. Sudah dari kecil, aku diperlakukan seperti itu. Aku tidak suka. Aku benci merasa dikasihani, apalagi Carl yang tampak tak ikhlas ketika melakukan perintah dari ibunya.
Aku tidak mau menjadi beban dimata keluarga Carl atau dimata Carl.
Arga tahu semua itu. Tentang masalah kedua orangtuaku. Arga menggigit bawah bibirnya, duduk dengan badan dicondongkan kedepan, dan kedua tangannya terkait. Itu yang ia lakukan ketika sedang bingung atau canggung.
"Kemarin malam ... gue denger suara kaca pecah. Lo gak apa-apa?"
Aku menghentikan aktivitasku ketika mendengar pertanyaan Arga. Memang, kemarin aku juga mendengar suara kaca pecah disusul sura bentakkan kedua orang tuaku. Sedangkan aku? Aku hanya terdiam di kamar, sesekali mendengar namaku disebut dalam pertengkaran mereka.
Aku berdeham. "Gue udah tidur. Maaf kalau suara itu buat lo merasa terganggu." bohongku.
Arga tampak merasa tidak enak, "Bukan. Bukan itu, maksud gue. Gue hanya ..." ia mengalihkan pandangannya dariku ke jendela "Cemas."
Aku tersenyum geli ketika melihat ekspresi Arga. Lucu. Ah, cowok jangkung itu berubah menjadi canggung seperti biasanya. "Gak ada yang perlu dicemaskan,"
Arga tersenyum dan mengangguk mengerti. "Jadi, lo udah makan?"
"Belum."
"Yuk, makan di nasi goreng Mas Slamet! Gue traktir."
Belum sempat aku menjawab, Arga sudah menarik tanganku.
A/N: Heyhoo! Mereka sudah SMA uwuuwuw... Ini masih part perkenalan, untuk kenapa Carl dingin ke Anya, nanti ada penjelasannya. Btw, Carl disini masih belum muncul lama ya. Dan oh maaf kalau ada yang ga enak sama scene cutting.. Yah...
Maaf pendek. Dan sekarang gue harus cari cast mereka. See you!
Ps: gue kangen nulis pov orang pertama❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reason is You
Teen FictionGadis yang kerap dipanggil Anya itu tidak mempunyai kehidupan yang ia mimpikan. Kebahagiaan dan cinta. Dua hal yang selama ini hilang didalam diri Anya. Dua hal yang selama ini Anya butuhkan. Namun, apa daya? Kehidupan realitanya pahit. Sangat pahi...