“Apa ini?”
Saat akan mengeluarkan buku pelajaran dari laci mejanya, Mey menemukan amplop yang berisikan selembar kertas. Tak ada nama pengirim. Hanya sebuah surat yang ditujukan untuk…
Mey,
Saya hanya mengatakan ini sekali. Tolong dicamkan baik-baik.
JANGAN DEKATI ZEE, jika kamu tak mau mendapatkan ancaman dari saya.
Baru sebulan sekolah di kelas XI, Mey sudah mendapatkan surat kaleng yang entah dari siapa. Ia pun tidak menghiraukannya. Dibuangnya surat serta amplopnya di tempat sampah kelas kemudian melanjutkan pelajaran matematika yang entah kenapa saat itu sulit digali dalam otaknya.
Tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundak Mey dari belakang. Mey pun langsung balik badan menghadap sang empunya tangan.
“Nanti istirahat kita latihan nyanyi lagi ya?” tanya Zee hati-hati sambil tersenyum. Maklum, jika sang guru killer matematika mendengar sedikit suaranya, maka tiada ampun bagi yang bersuara.
Mey kembali teringat akan surat kaleng tadi, tapi karena tidak mau ambil pusing, ia pun menganggukkan kepala sambil tersenyum pada Zee. Secara refleks, Zee pun berkata “yes!!!”
“Siapa itu?” tanya sang guru killer tepat melihat wajah Zee. Ia pun tertunduk takut.
“Sekarang kerjakan latihan nomor lima sampai sepuluh di papan tulis,” kata sang guru sambil mengulurkan kapur padanya. Mau tak mau Zee mengambil bukunya lalu maju ke depan sambil tertunduk lesu.
Akhirnya beberapa menit kemudian istirahat tiba, Zee berhasil menyelesaikan hukuman penyelesaian matematikanya dengan bercucuran keringat dingin. Mey menenangkannya saat ia sudah kembali ke tempat duduknya. Sedangkan dari luar kelas mereka tak menyadari ada lelaki berponi sebelah panjang sedang mengamati mereka.
“Jadi kan Mey, kita latihan nyanyi di bangsal?” tanya Zee lagi setelah ia kembali tenang dari kegundahan hukumannya tadi.
“Hayu, sambil makan bekal yang aku bawa ya?”
Lalu mereka pun melenggang keluar kelas, melewati saja lelaki berponi aneh tadi. Dengan tangan dilipat, lelaki berponi itu melihat mereka menjauh. Tatapan tajamnya saat ini dijamin akan membuat siapa saja yang melihatnya akan dibuat keder.
Ternyata bangsal di pojokan sekolah sudah penuh terisi dengan anak-anak lelaki yang bermain sepak bola. Terpaksa Zee dan Mey mengambil tempat di pinggir bangsal dan memulai aksi mereka. Zee mengambil nada sambil memetik gitar yang dibawanya, sedangkan Mey sedikit-sedikit makan bekal yang dibawanya sambil bersenandung.
Baru saja akan bernyanyi, tiba-tiba Maria datang memakai baju bola dan merangkul Mey.
“Hai, Mey!”
“Hai, Mar!” balas Mey sambil berusaha melepaskan diri dari rangkulan Maria, teman sekelasnya.
“Lagi ngapain nih?” tanyanya penasaran sambil melihat Zee dan Mey bergantian.
“Lu ga liat apa kami berdua lagi konser,” kata Zee jutek tak suka kehadiran Maria yang mengganggu.
“Idih, gitu aja marah,” balas Maria jutek, “ya sudah, aku main bola dulu ya,” tambah Maria lalu meninggalkan mereka dan masuk ke dalam bangsal.
Belum lagi berlatih bernyanyi, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara dua orang yang sedang bertengkar. Setelah ditilik dan diamati, arahnya berasal dari arah tak jauh dari ruang guru.
“Seharusnya kamu……!!!”
“Tidak bisa begitu donk, itu……!!!”
Ya ampun, ternyata dua guru matematika yang sedang perang mulut. Zee dan Mey mendengar anak-anak lain berkasak-kusuk ria tentang yang sedang terjadi. Bu Aul yang merupakan kakak Zee tidak terima kalau adiknya dipaksakan otaknya untuk mengerjakan beberapa soal matematika sekaligus dalam waktu yang sangat mepet. Sedangkan sang guru killer berpendapat bahwa saat itu adalah kelas yang sedang diajarnya, berarti ia mempunyai hak untuk melakukan apapun pada anak didiknya, sejauh tidak membahayakan sang murid.