Aroma teh menyeruak kesadaranku. Aku terbangun dan kepalaku serasa terbelah. Di atas kursi, aku tertahan tanpa bisa menggerakkan tubuh. Seutas tambang yang begitu panjang mengikatku kuat-kuat. Aku terkejut dan meronta panik. Dengan kaki menendang-nendang dan tangan memberontak, aku berusaha melepaskan diri. Dalam kepanikan, aku mendongak dan terkejut sekali lagi.
Tak jauh di depanku, seorang gadis tak kukenal duduk di atas kursi dan menatapku geli. Aku tak yakin apakah dia seumuranku atau lebih tua dariku. Rambut hitam panjangnya membingkai indah wajah ovalnya yang jelita. Satu tangannya mengangkat sebuah cangkir beruap yang mengembuskan aroma teh. Kedua kakinya disilangkan. Gaun merahnya sedikit tersingkap. Betis mulus dan sepatu hak tingginya seolah menertawai kenahasanku. "Akhirnya kau bangun juga," katanya, dengan suara seindah musik klasik.
Di sebelah kursinya, sebuah teko keramik dan cawan putih bergeming di atas sebuah meja bundar kayu kecil.
Aku tak yakin bisa menebak di mana kami sekarang. Keempat dinding yang mengelilingiku begitu dingin, asing, dan suram. Di langit-langit, sebuah bohlam redup tergantung dan berayun, menciptakan permainan cahaya yang memusingkan di bawah kaki-kaki kedua kursi. Dalam temaram, kotak-kotak kayu tersusun berantakan memenuhi hampir seluruh sisi.
Di mana pintu masuk ruangan ini berada? Bagaimana caraku keluar dari sini? Dan... "Siapa kau?" tanyaku, menatap tajam gadis itu.
"Aku?" Dia tersenyum tipis, menyesap tehnya pelan-pelan seolah dia benar-benar menikmatinya, lantas menaruh cangkir itu di atas meja kecil di sebelah kursinya. Sambil menatapku dengan lensa hijaunya yang cemerlang, dia bilang, "Aku adalah seorang gadis dari masa depan. Aku datang untuk melihat keadaanmu di masa ini. Aku benar-benar kecewa dengan apa yang kulihat sejauh ini." Gadis itu menggeleng-geleng. "Benar-benar sulit dipercaya."
Aku terkesiap, mengangkat alis, berusaha mencerna setiap kalimatnya. "Masa depan? Masa ini? Apa maksudmu?"
Gadis itu mendesah. "Aku fans beratmu, Tuan," katanya, seolah itu dapat menjelaskan seluruh tanda tanya di pikiranku.
"Fans beratku?" Aku tertawa hambar. "Memangnya, siapa aku?"
Raut mukanya berubah masam. "Itulah masalahnya. Saat ini, kau memang bukan siapa-siapa, dan aku benar-benar tak mengerti bagaimana mungkin seorang pria payah sepertimu bisa berubah menjadi seorang legenda sepertinya. Sungguh tak masuk akal. Kau dan dia ibarat bumi dan langit."
"Legenda? Siapa yang sebenarnya sedang kaubicarakan?"
"Aku sedang membicarakanmu. Kau seorang legenda di masa depan. Tiga puluh tahun dari sekarang, kau akan menerbitkan banyak sekali buku. Namamu dikenal di berbagai penjuru Nusantara. Blogmu dikunjungi ribuan fans setiap hari. Sejumlah bukumu bahkan berhasil diangkat ke layar lebar. Semua orang memujamu. Seorang penulis legendaris yang tiada duanya."
Aku tercenung. Lama. Gadis itu pasti sudah kehilangan kewarasannya. "Maaf, Nona, tapi kupikir kau salah orang. Bisakah kaulepaskan aku sekarang? Aku sama sekali tak seperti yang kaubicarakan. Aku bukan orang terkenal, legenda, atau apa pun itu. Aku hanyalah-"
"Seorang pegawai rendahan di perusahaan swasta. Aku tahu itu." Dia mengayunkan tangan di udara. "Aku sudah membaca otobiografimu sebelum kembali ke masa lalu, mengerti?"
Aku mengangkat sebelah alis tak percaya. Bibirku merengut.
"Kau pikir aku mengada-ada? Kau pikir aku sudah gila?" katanya, masam. Dia termenung sekian saat, lalu menyipitkan tatapannya padaku. "Kau jauh lebih gila dariku, membuang-buang waktumu untuk pekerjaan yang kaubenci selagi mengubur impian besar yang kauidam-idamkan setiap waktu."
Aku tertegun. "Maksudmu?"
"Novel-novel itu. Naskah-naskah yang tak kunjung kaurampungkan. Kuburan manuskrip yang sengaja kautimbun di laptopmu."
Aku terbelalak. "Kau membuka data-dataku?" Ini tak bisa dimaafkan.
Dia menggeleng. "Aku meretasnya langsung dari pikiranmu."
Alisku mengernyit. "Apa maksudmu? Kau tak seharusnya melakukan... melakukan apa pun yang telah kaulakukan padaku! Naskah-naskah itu privasiku!"
"Kau terlalu malu untuk mengakui impianmu sendiri?"
"Siapa yang malu? Aku hanya-"
"Kau tak pernah mengungkapkan impian besarmu pada siapa pun kecuali diri sendiri."
"Impian besar apa?"
"Kau ingin menjadi novelis, kan?" tudingnya. "Kau sudah lama berjanji pada diri sendiri kalau kau ingin menjadi novelis, tapi sampai sekarang, tak satu naskah pun berhasil kaurampungkan."
Aku tercengang. "Bagaimana kau tahu semua itu? Kau bahkan tak mengenalku. Kau sama sekali tak tahu siapa aku!"
Dia mendesah panjang, mengangkat bahu, lalu meraih cangkir di meja dan menyesap tehnya sekali lagi. "Sudah kubilang aku seorang fans. Aku sudah membaca segala hal tentangmu. Dan aku juga meretas pikiranmu."
Aku menatapnya datar. "Dengar, Nona. Aku tak tahu siapa kau, aku tak mengerti apa yang kaukatakan, tapi aku akan sangat berterima kasih kalau kau bersedia melepaskan ikatanku sekarang."
Dia menaruh cangkirnya kembali, lalu mengangkat kedua tangan di udara sambil tersenyum begitu manis. "Bagaimana kalau aku tak mau?"
"Bagaimana kalau-apa? Penyekapan ini melanggar hukum, Nona! Kau harus membebaskanku sekarang atau kau akan menerima akibatnya nanti!"
Dia tertawa. Tawa yang merdu. Lalu menggeleng-geleng. "Kau pikir kita sedang berada di tempat yang bisa dijangkau oleh hukum?" Dia mengubah posisi kakinya dan mencondongkan tubuh ke arahku. Matanya menatapku tajam. Raut wajahnya menyiratkan ancaman. "Sekarang, katakan padaku, kenapa kau tak segera merampungkan novel perdanamu."
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Buat kamu yang merasa terhibur dengan cerita ini, jangan lupa vote dan komentarnya! :D
© 2014 by emha eff
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Legenda
Science FictionSeorang pegawai rendahan di sebuah perusahaan swasta mendapati dirinya disekap dalam ruangan yang asing dan suram. Di depannya, duduk seorang gadis jelita yang mengaku bahwa dia berasal dari masa depan dan merupakan fans berat pria itu. Benarkah gad...