#2: Paradox

18 0 0
                                    

"Ada banyak alasan," kataku, dengan sorot mata menantang. "Dan semuanya bukan urusanmu. Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu kalau kau bahkan tak mau membebaskanku?"

Dia menatap jam mungil di pergelangan tangannya dan merengut. Lalu kembali menatapku. "Aku janji kau akan bebas, tapi kau harus jawab dulu pertanyaanku."

Saat aku tercenung, dia langsung menambahkan, "Dengar, Tuan. Aku tak punya banyak waktu. Pikirkan ini baik-baik. Kau berada di bawah kendaliku sekarang. Aku bisa saja pergi dan membiarkanmu membusuk di tempat ini, atau kau bisa menjawab pertanyaanku satu per satu dan cerita ini akan berakhir bahagia. Jadi, bisakah kaubilang padaku kenapa kau belum juga merampungkan novel perdanamu? Atau kau lebih memilih opsi pertama?"

Aku menggigit bibir. Mempertimbangkan penawarannya. Apakah benar dia berasal dari masa depan? Apa maksudnya saat dia bilang ruangan ini tak bisa dijangkau oleh hukum? Benar-benar sial. Kepalaku berdenyut-denyut sakit hanya karena ingin memecahkan semua misteri ini.

Andai saja aku bisa memotong tambang ini. Andai saja aku bisa melepaskan ikatannya. Tapi aku sudah mencobanya dan itu percuma. Haruskah aku menyerah pada gadis itu? Aku menggeleng-geleng bingung. "Terus-terang, aku tak punya jawabannya. Aku tak tahu kenapa aku belum merampungkan satu naskah pun. Kurasa aku hanya kewalahan. Aku tak yakin novel itu akan bagus. Aku takut rekan kerjaku menertawaiku. Ini pekerjaan sia-sia. Kalaupun aku terjatuh, tak akan ada yang menolongku. Justru, orang-orang bisa saja akan menjauhiku karena aku terus-menerus mendekam di kamarku." Oh Tuhan, tak kusangka aku akan berbicara sebanyak ini pada seorang gadis asing. "Lagi pula, siapa yang peduli apakah aku akan menyelesaikan novel itu atau tidak? Aku sudah punya pekerjaan bergaji tetap dan tak ada yang lebih baik dari itu."

"Tak ada yang lebih baik dari pekerjaan bergaji tetap? Biarpun itu bukan pekerjaan yang kausukai? Begitukah? Kau yakin kau bersedia menukar seluruh potensimu hanya untuk sebuah pekerjaan yang kaubenci diam-diam?"

"Kau pikir aku punya potensi?"

Dia menggeleng-geleng sambil berdecak. "Andai kautahu novel itu pasti akan terbit, apakah kau akan buru-buru menyelesaikannya?"

Aku memikirkan ini selama beberapa saat. "Mungkin. Kurasa. Ya."

"Bagaimana kalau kubilang novelmu pasti akan terbit dalam satu-dua tahun lagi?"

Aku menggeleng sedih. "Bagaimana aku bisa yakin soal itu? Kau pikir aku akan menelan ucapanmu mentah-mentah? Anggaplah kau memang berasal dari masa depan, apakah itu berarti kau bisa memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi sebulan dan setahun mendatang? Tidak mungkin. Kedatanganmu di sini justru menciptakan paradoks yang bisa saja mengubah peluangku untuk menjadi legenda atau apa pun itu menjadi nol persen. Berkat pergeseran waktu yang kauciptakan, dua orang yang seharusnya menjadi orangtuamu bisa saja tak saling bertemu. Dan aku bisa saja menjadi seorang pria biasa yang tak akan dikenal siapa pun."

"Apa?" Dia mempertimbangkan kata-kataku beberapa saat. "Maksudmu, andai sekarang aku kembali ke masaku sendiri, aku bisa saja menghilang karena wanita yang seharusnya melahirkanku justru tak pernah mengandungku, begitu?"

Aku mengangkat bahu. "Siapa yang tahu? Masa depanmu tak ada di tanganku."

Dia kembali menatap jam tangannya. Lalu memandangku. "Yah, baiklah. Kau tahu, Tuan? Aku tak peduli. Jangan pikirkan masa depanku. Pikirkan masa depan yang ada di tanganmu. Jika masa depanku tak ada di tanganmu, lalu masa depan siapa yang ada di situ?"

Dengan spontan, aku terdorong untuk menjawab, lalu buru-buru menelannya sebelum kata-kataku keluar.

"Kau takut usahamu akan sia-sia. Kau takut rekan kerjamu menertawaimu. Kau takut orang-orang menjauhimu. Kau takut tak akan ada yang menolongmu saat kau mengalami kegagalan. Berapa banyak lagi ketakutan yang kaupelihara di otakmu, Tuan? Bagaimana kau tahu itu nyata atau hanya di pikiranmu saja?"

Aku terdiam.

"Tak ada seorang pun yang bebas dari rasa takut, Tuan. Kita bisa memilih hidup menyesal di masa depan, atau kita bisa memilih untuk berubah sekarang juga dan menghadapi ketakutan kita satu demi satu. Coba katakan padaku, apa gunanya menakuti sesuatu yang belum tentu akan terjadi? Bukankah masa depan kita ada di tangan kita sendiri? Bukankah itu yang hendak kaubilang tadi?"

"Aku..." Aku terbata, tak yakin dapat membalasnya. Rasanya lebih baik jika dia menghunjamku dengan pedang daripada mengatakan kalimat itu. Ini sama sekali tak menyenangkan. "Bisakah kaulepaskan aku sekarang juga?"

"Kau menyerah? Setelah percakapan ini, kau menyerah begitu saja?"

Aku berpaling, tak ingin menatapnya matanya. "Aku tak peduli kau mau bilang apa. Memangnya, kaupikir menulis novel itu mudah?"

Dia mendesah. "Aku tahu menulis novel butuh waktu. Aku sendiri mulai belajar menulis belakangan ini, terinspirasi olehmu—setidaknya, versi dirimu yang lain. Kupikir aku akan lebih bersemangat jika aku bisa melihat perjuanganmu dari awal, tapi ternyata kau bahkan tak berminat memperjuangkan impianmu. Sebagai fans, aku benar-benar sedih, Tuan."

Aku terkesima. Sulit memercayai bahwa apa yang kulakukan bisa memberi dampak begitu besar pada orang lain, terlebih karena aku bahkan belum melakukannya. Aku tertunduk. "Maafkan aku karena sudah mengecewakanmu."

Dia semakin intens menatapku. "Aku tak mengharapkanmu minta maaf. Aku mengharapkanmu mengejar impianmu. Bisakah kau janji akan menggarap novelmu sampai tamat setelah kau bebas dari sini?"



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 12, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang LegendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang