Aku melempar tas kesembarang arah. Aku terlalu lelah hari ini. Kenapa hari ini ini begitu menyebalkan? Aku melihat tampilanku di cermin. Seragam kusut, rambut acak-acakkan dan muka yang kumel. Aku berdecak. Itu, seperti bukan aku.
Dengan malas, aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Sepertinya mandi dapat menghilangkan penatku. Dengan langkah gontai, aku berjalan ke kamar mandi.
Setelah sekiranya duapuluh menit aku membersihkan diri, aku langsung turun kebawah untuk menemui Bang Devan. Sebenarnya, aku ingin bercerita tentang semuanya. Namun, semua ceritaku, tentang Arvin.
Aku menuruni tangga dengan cepat, kulihat Bang Devan sedang menikmati coklat hangatnya sambil memakan makanan ringan.
Aku langsung menempati bangku disebelahnya. "Halo, Bang!" sapaku riang.
Bang Devan menoleh, "Kenapa?"
Aku menggeleng, "Nggak, lagi pengen ngobrol aja." kataku.
"Deh."
Aku tertawa, sedetik kemudian, terjadi keheningan diantara kami. Aku diam memikirkan apa aku harus menceritakan semuanya ke Bang Devan? Atau aku akan pendam semuanya sendirian?
Asal kau tahu, memendam rasa sendirian itu sakit.
Aku menarik nafas lalu membuangnya. Berulang kali.
"Kenapa sih lo?"
Aku menoleh sekilas, lalu menggeleng.
"Lo bisa cerita sama gue," ucap Bang Devan.
"Percuma. Percuma aku cerita sama kamu. Kamu nggak bakal ngerti dan, kamu bakal benci sama aku." kataku kesal.
"Maksudnya apa?" tanya Bang Devan dengan nada dingin.
"Kamu nggak bakal ngerti!" aku langsung berlari keatas dan menutup pintu kamarku dengan kencang.
Sudah aku bilang, memendam rasa sendiri memang sakit. Namun, saat kau ingin menceritakan semuanya, usahamu hanya sia-sia, karena tak ada yang mengerti apa yang kau rasakan.
****
Aku bangun lebih awal daripada biasanya, jam setengah enam, aku sudah rapih dengan semuanya dan tinggal berangkat. Aku sengaja bangun lebih awal agar aku bisa berangkat sendiri.
Aku mengintip kamar Bang Devan, ia masih pulas dengan headset yang menyumpal telinganya.
Dengan perlahan, aku menuruni tangga dan membuka pintu. Tak lupa aku menuliskan pesan untuk Bang Devan di poster Cara Delevingne yang berada di dinding kamarnya itu. Karena pasti setiap bangun tidur, Bang Devan selalu mengamati poster itu.
Bang, aku bangun kepagian. Jadi berangkat sendiri aja, naik bus.
Alibi.
Aku langsung menempelkan post pada poster itu. Tak lupa mengusap rambut Bang Devan sebelum berangkat. Itu kebiasaan ku saat kecil.
Setelah selesai dengan urusan Bang Devan, aku langsung mengambil sepatu dan berangkat ke sekolah.
Aku berjalan santai kearah halte yang berada diujung jalan dari kompleks ini, cukup jauh dan menguras tenaga. Tapi tak apa, itung-itung olahraga pagi.
Aku menunggu bus di halte itu, sekitar lima menit kemudian, bus bewarna kuning berhenti dihadapanku. Tanpa basa-basi aku langsung menaiki bus tersebut dan mencari bangku yang kosong.
Untung ada bangku kosong, batinku.
Aku membuang pandangan kesamping jendela. Tiba-tiba ponselku berdering menandakan ada pesan yang masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arvin & Kayla [SLOW UPDATE]
Teen FictionSelalu menunggu tapi dianya tak tahu. Selalu berusaha tapi dianya tak perduli. Mungkin ia tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Menahan rasa gelisah setiap kali merindukannya. Sayangnya, rasa rindu itu hanya tertahan, tak terungkap. Intinya, Kayla mencin...