Part 4

23.5K 442 23
                                    

Sudah sebulan lebih Aris sekolah di tempat yang sama denganku. Sebuah SMA terbaik nomor dua di sebuah kotamadya di Jakarta saat itu. Aku masuk program Fisika atau A-1 sedangkan Aris masuk program Biologi atau A-2. Nilainya memang cukup lumayan. Peringkat ketiga belas di kelasnya, saat kuintip rapornya.

Temannya sudah jauh lebih banyak dibandingkan aku. Tentu saja. Sangat tidak adil membandingkan sebutir berlian dengan sebuah kerikil! Huhhh ...

Aris sudah bergabung dengan kepengurusan OSIS di seksi Kesehatan dan Olahraga. Ia juga aktif di ekstrakurikuler karate. Melanjutkan ekstrakurikuler yang juga dipilihnya saat sekolah di kampung. Sesekali ia juga bergabung dengan anak-anak yang terlibat dalam kerohanian Islam. Saat itu di sekolahku disebut Majelis Ta'lim (MT). Hebatnya lagi, ia langsung terpilih sebagai ketua kelas di kelas II Biologi 2. Adapun diriku? Masih seperti dulu. Aktivitasku hanya belajar semampu dan semauku. Yah, semauku! Terlalu banyak yang mengoyak konsentrasiku dalam belajar.

Akibat dari itu semua, aku dan Aris tidak pernah lagi pulang bersama. Sebelum jam satu siang aku sudah melemparkan tubuhku di tempat tidur kamarku. Aris baru kembali paling cepat jam tiga sore. Untungnya ia selalu dengan sengaja membarengiku saat berangkat. Jadi, orang tuaku yang selalu kembali sebelum maghrib selalu menganggap kami pulang pergi sekolah selalu bersama. Sejujurnya aku ingin seperti itu tetapi aku sangat tersiksa kalau berada di setiap lingkungan kegiatan yang biasa Aris ikuti.

Akh, semua sudah tidak mungkin. Aku dan Aris hanya secara fisik saja terlihat bersama-sama. Di kamar saat belajar atau tidur, di meja makan, atau saat berangkat sekolah. Itupun tanpa ada dialog yang berarti.

Duniaku kembali sepi.

"Nanti pulang bareng, ya?" aku sangat terkejut mendengar Aris berbicara padaku sebelum mencapai pintu gerbang sekolah kami. Aku sampai terperangah. Mulutku terbuka heran.

"Kamu gak ada kegiatan?" tanyaku setelah keherananku berkurang.

"Hari ini aku mau langsung pulang saja. Besok ulangan Biologi dan Sejarah. Aku harus siap-siap. Aku malu kalau nilaiku kalah jauh sama kamu." senyumnya menggoda.

Ya, beberapa guru sudah mengadakan ulangan. Aku sendiri sudah ulangan Matematika beberapa hari yang lalu. Nilai delapan yang kuperoleh cukup melegakan. Padahal aku belajar dengan kondisi hati tercabik-cabik. Seandainya jiwaku sesempurna Aris, mungkin nilai sepuluh bukanlah hal yang sulit.

"Kamu gak harus pulang bareng aku, kok." selaku "bapak dan ibu gak tahu kalau selama ini kita sudah gak pernah pulang sama-sama lagi. Mereka sore baru pulang ..."

Aris menghentikan langkahnya. Otomatis aku mengikutinya berhenti. Sinar matanya protes terhadap ucapanku. Ia menarikku duduk di pendopo sekolah. Jauh dari orang lain.

"Selama ini aku gak bisa pulang bareng kamu karena selalu ada kegiatan tambahan. Rapat OSIS, ekskul, MT, atau belajar kelompok!" belanya.

"Kamu gak pernah mau berbicara lagi denganku kalau gak di depan ibu atau bapak." sindirku.

"Kamu gak tahu penyebabnya?" nada tanyanya sangat menekan.

"Aku tahu!" tantangku.

"Apa?" selidiknya.

"Karena aku banci!"

"Toro!..."

"Bencong yang menjijikkan!" lanjutku pedas.

"Ro!"

"Jangan menyentuh aku! Nanti kamu tertular!" aku tepis tangannya yang mencoba mencekal pundakku. Aku lari menuju kelasku.

Ya, Tuhan! Jangan sampai air mata ini keluar sebelum aku sampai ruang kelas ...

***

Proses pembelajaran berlangsung biasa hingga akhir jam istirahat.

Selamat Datang, Paman Arjo dan ArisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang