Bruuukkk...aku langsung jatuh terduduk dengan kerasnya ketika seseorang menabrakku sehingga semua buku-buku yang kubawa pun berserakan.
"Heiii...kalau jalan matanya dipasang donk!" Suara bentakan mengejutkanku yang masih terduduk di lantai.
Mataku langsung menangkap sosok cowok yang berdiri pongah sambil berkacak pinggang dengan wajah memerah menahan marah dan mata coklatnya yang melotot tajam ke arahku.
"Heiii...kamu dengar tidak?" Suaranya kembali menggelegar ditelingaku.
"Iya aku dengaaar!!! bisa tidak sih kamu tidak teriak-teriak begitu?" Sambil berdiri dan meringis menahan sakit, aku membalas teriakannya. "Lagi pula kamu yang nabrak aku, tahu?"
"Aku? seorang Devan Alexander menabrak cewek cupu seperti kamu? hahahaha...itu hanya ada dalam khayalanmu saja." Dia berkata sambil mencibir ke arahku dengan senyum sinisnya yang khas yang selalu dia pamerkan setiap berhadapan denganku.
"Tapi memang tadi kamu yang nabrak aku kok. Kamu..." Suaraku tertahan ketika dia mengangkat sebelah tangannya dengan arogan.
"Sudah! aku tidak mau terlalu lama bicara denganmu, cewek cupu. Bisa rusak reputasiku kalau ada yang melihatku berbicara denganmu." Dengan ketus dia melangkah pergi dengan gayanya yang sombong.
"Dasar cowok brengseeeekkk!!!" Aku berteriak kesal sambil melempar buku ke arahnya yang sayangnya sudah terlalu jauh dari jangkauan bukuku yang kini hanya teronggok di lantai.
Sambil menggerutu, aku memunguti buku-bukuku. "Mimpi apa aku semalam sampai harus berhadapan dengan cowok sombong, brengsek dan menyebalkan itu."
Cowok itu, Devan adalah cowok terpopuler di kampus ini. Darah Amerika-Indonesia mengalir ditubuhnya. Dengan wajah tampan, mata coklatnya yang tajam serta tubuhnya yang tinggi tegap membuatnya menjadi idola dan incaran cewek-cewek kampus ini. Bahkan mereka rela bertingkah aneh dan menggoda hanya untuk bisa dekat dengannya. Tapi bagiku, dia tidak lebih hanya seorang cowok sombong dan brengsek. Wajahnya yang tampan tertutup oleh sifat playboy dan sombongnya.
Huh!!! kenapa aku jadi mikirin cowok sombong itu. Peduli apa dengan sifat buruknya itu, aku kembali menggerutu dalam hati. Aku segera melangkah keluar halaman kampus dan menunggu bis umum yang akan membawaku pulang.
***
Tergesa-gesa aku melangkah ke teras rumah sederhana tempat tinggalku selama ini. Gara-gara cowok itu aku jadi terlambat sampai di rumah, gerutuku sambil membuka pintu.
"Dina..." Aku menghampiri adik perempuan satu-satuku yang berbaring di sofa usang di ruang tamu. "Kenapa kamu disini? kenapa tidak berbaring saja di kamar?"
"Kak Rana, kakak baru pulang? Banyak tugas kampus ya kak? Aku menunggu kakak dari tadi." Suara Dina yang lemah sekaligus cemas membuatku terenyuh.
"Iya sayang. Maaf ya kakak terlambat. Kamu pasti belum makan. Kakak siapkan dulu ya?"
Dina hanya mengangguk dan aku pun langsung menuju dapur menyiapkan makanan yang kubawa tadi lalu membawanya kembali ke ruang tamu.
"Nah, Dina. Kamu makan dulu ya?", kataku menyodorkan piring berisi makanan kesukaannya.
"Kok cuma satu piring kak? kakak tidak ikut makan?"
"Kakak sudah makan tadi di kampus. Kamu makan saja, dihabiskan ya?"
Dina mengangguk lemah dan mulai memakannya dengan lahap hingga tak tersisa.
Aku tersenyum melihatnya. Dina adikku satu-satunya, setelah kedua orangtua kami meninggal dalam kecelakaan dua tahun yang lalu hanya dia lah satu-satunya milikku yang berharga. Aku sangat menyayanginya walaupun kondisinya sangat lemah dan harus tergantung dengan obat seumur hidupnya. Yah, penyakit paru-paru yang dideritanya sejak tiga tahun lalu semakin menggerogoti tubuhnya sehingga kian melemah dan kurus.