Musim semi datang tepat pada waktunya. Matahari berpendar hangat melalui celah-celah pepohonan yang ditumbuhi dedaunan baru. Aroma dari rerumputan pendek dan nektar bunga-bunga berwarna cerah menyerbu penciuman semua orang.
Aku duduk di kursi bus sekolah, memandangi indahnya New York saat musim semi. Rasanya seperti baru keluar dari kepompong. Setelah cukup lama bertahan pada hari-hari buruk di musim dingin, akhirnya ketenangan dan kehangatan kembali datang. Seperti sebuah siklus. Siklus kehidupan.
Hari ini, hari pertama sekolah. Bus ini baru terisi setengah bagiannya. Masih ada beberapa murid lagi yang belum naik. Aku masih memperhatikan musim semi yang menyelimuti dunia luar sampai kurasakan seseorang duduk di sampingku.
Aku berbalik dan melihat Jack di sana. Dia teman dekatku. Kami berada di satu tim basket yang sama. Anak lelaki berambut pirang yang dipotong cepak dengan kacamata persegi yang membingkai mata coklatnya.
"Kau sudah tahu, kan? Ada pertandingan basket akhir minggu ini," katanya sambil mengatur posisi kacamata yang kelihatan tidak nyaman.
"Ya, kudengar begitu," jawabku berusaha tidak memperhatikan kacamatanya yang nyaris rusak. Ada plester di bagian tengahnya untuk menyatukan bagian yang patah. Kurasa dia tidak mampu membeli yang baru. Ayah Jack bekerja di toko roti ayahku. Sementara, ibunya pergi entah kemana.
"Jangan lewatkan latihan, Jac," gumamnya sebelum tenggelam dalam earphone tua yang dipasang ditelinga.
Bus berhenti beberapa kali untuk menjemput murid lainnya. Saat semuanya sudah naik, kami segera melaju ke sekolah. Aku bersekolah disebuah SMU di New York, sebuah bangunan bercat merah putih dengan jendela kaca besar di salah satu bagiannya.
Pintu bus ini berdecit terbuka. Karena aku orang yang duduk paling dekat dengan pintu, aku yang pertama kali menginjak kali di tanah. Berbagai spanduk ucapan selamat datang kembali tergantung di seluru bagian bangunan. Aku bisa melihat beberapa kelompok murid kelas satu yang masih asing dengan sekitarnya.
Aku menyusuri lorong dengan dinding yang dipenuhi kertas-kertas mengkilap bekas perayaan tahun baru dua minggu lalu. Dekorasi pesta lainnya sudah dibereskan. Tapi, kurasa kertas-kertas itu dibiarkan menempel di dinding sebagai hiasan.
Di loker, aku mengambil buku Geografi. Itulah pelajaran pertamaku hari ini. Bersama dengan yang lainnya, aku berjalan menyusuri koridor sekolah. Akhirnya, kami sampai di sebuah ruangan dengan tulisan "Geografi" di pintunya yang berwarna putih.
Guru geografiku adalah seorang pria nyentrik yang selalu berpakaian hijau. Kacamata bundar menghiasi matanya yang berwarna biru. Rambutnya setengah botak. Kami menyebutnya Mr. Clapton. Sekarang, dia sedang duduk di mejanya buku dengan gambar gunung berapi di bagian sampul.
Aku duduk bersama Jack di bangku ketiga dari belakang. Di sini, aku bisa mendapat sudut pandang yang pas. Tidak terlalu dekat dengan papan tulis dan tidak terlalu jauh. Pada saat bel masuk berbunyi, Mr. Clapton bangkit dari duduknya dan menyalakan proyektor dengan remote control. Seketika, gambar-gambar berbentuk aneh terproyeksi ke papan tulis. Itu adalah gambar gunung api yang masih aktif. Hanya saja, hanya saja gambar itu ditampilkan dalam bentuk kerangka. Mr. Clapton menjelaskan pada kami begaimana prose-proses meletusnya sebuah gunung berapi.
Aku sudah memperhatikan gambar jaring-jaring gunung berapi itu. Memperhatikan setiap detail dari relief-relief bentang alam yang siap memuntahkan cairan panas ke udara. Mr. Clapton menjelaskan dengan menunjukkan begian-bagian gunung menggunakan laser presentasi berwarna biru. Kemudian, dia mengetikkan sesuatu di papan ketik. Seketika, tulisan-tulisan bermunculan di layar sebagai penjelas.
Dalam tulisan-tulisan yang sulit terbaca itu, aku bisa melihat tanah permukaan gunung bergetar. Gempa vulkanik akan segera dimulai. Beberapa saat kemudian, cairan berwarna merah itu menyembur ke udara terbuka. Kali ini, bukan jaring-jaring gunung yang kuliat. Tapi, bentuk asli gunung itu. Sebuah gunung berapi di pulau tak terpenghuni. Abu vulkanik yang tebal seakan ingin menghalangi cahaya matahari yang berusaha merobeknya. Aku bisa merasakan dadaku sesak saat melihat betapa tebalnya gas beracun itu.
===================================
Pada saat makan siang, aku berkumpul di meja yang sama bersama teman-temanku di tim basket. Membuat jarak sejauh mungkin dengan tim football yang selalu mendominasi sekolah. Mereka memiliki bentuk tubuh yang lebih tinggi dan besar dariku. Otot-otot mereka juga tampak lebih besar. Ya, bisa dibilang merekalah yang merajai sekolah. Kapten mereka, Seth, adalah seorang anak lelaki yang memiliki banyak kekasih dari kelompok pemandu sorak. Dia adalah murid tertua disini. Tiga kali tidak naik kelas karena kasus yang terlalu banyak. Dan, sekarang, ya, dia jadi penggila wanita.
Menu makan siang kali ini adalah kentang goreng, sosis, sekotak susu, dan semangkuk kecil buah-buahan yang dipotong dadu untuk pencuci mulut. Kau tidak bisa tidak mendengar suara keributan dari meja Seth dan teman-temannya. Ada tiga gadis yang merupakan kekasih Seth. Mereka berlomba-lomba mendapatkan perhatian anak lelaki itu dengan cara menyuapi, menjilat, atau membelai rambutnya.
Saat aku hendak meninggalkan kantin, pengumuman di sistem audio menuntut perhatianku. Tadinya, kupikir itu hanya pengumuman biasa atau mungkin penggantian jadwal pelajaran. Tapi, ternyata bukan. Pengumuman ini menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan, termasuk Seth yang tadinya disibukkan oleh bidadari-bidadarinya. Seorang putri dari keluarga kerajaan Inggris akan pindah ke sini. Dia adalah Putri Rebecca Carrol. Beberapa waktu terakhir ini, dia sering muncul di televisi.
Efek pengumuman tadi langsung menjalar di seluruh ruangan. Banyak orang yang tidak percaya bahwa akan adaseorang keluarga kerajaan yang belajar di tempat ini. Tapi, reaksi itu sangat jelas di mata Seth. Apa yang dia pikirkan? Tentu saja dia ingin menjadikan Putri Rebecca kekasihnya. Dengan begitu, mungkin dia juga akan ikut terkenal.
Pada jam pulang sekolah, aku sudah ada di gym untuk latihan basket. Karena masuk ke tim inti, aku langsung berlatih sungguhan di bawah arahan pelatih kami yang biasa dipanggil Fork, pria berjanggut coklat dengan kepal botak.
Seketika, ruangan ini dipenuhi suara bervolume keras. Suara perintah-perintah yang bergema di udara sampai suara peluit melengking yang menulikan pendengaran. Setelah sekitar lima belas menit, kami berkumpul untuk evaluasi. Fork bilang, pertandingan basket minggu ini dibatalkan karena kedatangan Putri Rebecca. Sekolah berencana mengadakan sebuah acara hiburan sebagai tanda kehormatan yang menurutku terlalu berlebihan. Begaimanapun juga, dia adalah murid di sekolah ini. Jadi, tidak perlu diistimewakan. Tapi, kebijakan sekolah tidak bisa diganggu gugat.
Menjelang sore, aku sudah berada di toko roti untuk membantu ayahku. Kuganti seragam sekolahku dengan kaus putih dan celan pajang. Celemek lusuh dengan hiasan noda-noda sisa pembakaran menggantung di leher dan terikat dipinggangku.
"Sudak kau bereskan piring-piring di dapur?" Tanya ayahku yang sedang mengelap meja konter dengan kain tipis.
"Sudah," jawabku sambil kembali menyapu lapisan debu yang ada di lantai.
Aku melihat televisi yang diletakkan di dinding toko. Mereka sedang menyiarkan berita tentang Putri Rebecca. Rumahnya yang megah seperti istana dikerumuni wartawan berkamera dengan tingkat keingintahuan tinggi.
"Putri Rebecca, ya?" Ayahku tiba-tiba muncul dari belakang.
"Ya, dia akan pindah ke sekolahku minggu ini," jawabku.
"Oh, kalau begitu, sekolahmu akan dipenuhi wartawan, ya?"
"Entahlah, aku yidak tahu." Aku kembali menyapu
"Lihat, dia muncul."
Aku mendongak dan melihat Putri Rebecca yang sedang di close-up. Dia adalah gadis berambut pirang bergelombang dengan mata biru yang indah. Terbalut dengan gaun putih sutra yang jatuh sampai ke lantai, Putri Rebecca berdiri di balkon rumahnya. Dia melambai ramah pada kamera. Lalu, aku menangkap sesuatu di gaunnya. Pin berbentuk bunga dandelion kuning. Bunga dandelion pertama yang kulihat tahun ini.
***