"Iihh! Kok dia romantis banget, sih?"
Olivia tertawa kecil selagi sahabatnya mencubit lengan atasnya kesal.
"Seriusan, Liv. Dia itu worth it banget! Banyangin coba, dia ngelamar lu di pantai, sambil ngasih cincin berlian! Siapa yang enggak baper digituin?"
"Enggak juga kok, Del." Olivia berusaha menyangkal, "dia cuma kadang-kadang romantis"
Penyangkalan Olivia nampaknya tak membuat sahabatnya, Adel, berhenti merasa kesal dan iri.
"Gausah boong, Liv. Gua tau lu seneng kan?"
"Ya seneng lah, Del. Siapa yang gak seneng coba?"
Olivia tertawa lepas melihat ekspresi Adel, wajahnya kusut layaknya kabel headset yang dimasukkan kedalam kantong jaket. Terlihat jelas kalau dia iri, benar-benar iri.
"Coba aja cowo gua begitu," Adel mendecak.
"Semua cowo punya caranya sendiri buat nyenengin cewenya, Del," ucap Olivia dengan nada lembut.
"Iya sih, cuma kapan? Gua capek dicuekkin mulu, Liv."
"Gini deh, kita double date aja gimana? Barangkali bisa peka dia, kasih kode makanya!" Olivia tertawa sambil mengunyah potongan terakhir kue Red Velvet yang ia pesan.
"Double date? Ogah ah, Liv. Nanti gua kesel sendiri liat lu sama Andre," ketus Adel kesal.
"Ah, gapapa lah, Del. Sekali-kali kita perlu nge-date bareng! Bakalan seru kok!" ucap Olivia seraya melambaikan tangannya, mengisyaratkan waitress untuk datang membawa bill.
"Seru apanya? Tau sendiri si dia enggak ada romantis-romantisnya," ucap Adel dengan nada kesal, ia menarik keluar sejumlah uang dari dompet kulit ularnya. "Berapa, Liv?"
"Gak usah, gua aja yang bayar," ucap Olivia bersamaan dengan datangnya waitress.
Olivia melihat tagihan itu secara teliti, hal itu memang sudah menjadi kebiasaannya setiap kali ia makan di sebuah restoran. Ia tidak pernah mau dirugikan dalam hal apapun, kecuali dalam keadaan terpaksa.
"Maaf mbak, kami tadi enggak pesan lemon tea, coba dicek ulang dulu deh," ucap Olivia sopan sembari tersenyum mengembalikan tagihan yang baru saja diberikan kepadanya.
Waitress itu berjalan kembali ke kasir untuk mengecek pesanan Olivia dan Adel, dan benar saja, mereka memang tidak pernah memesan segelas lemon tea.
Waitress itu berjalan kembali ke meja Olivia, "maaf untuk kesalahan kami, ini bon yang baru," ujarnya sambil menunduk dan tersenyum.
Setelah memastikan kalau kali ini tidak ada kesalahan, Olivia meletakkan tiga lembar uang pecahan lima puluh ribu rupiah di atas nampan. Masih tersenyum, sang waitress mengambil uangnya dan membawanya ke kasir.
"Dasar pelit," ledek Adel.
"Ih, gua kan gak mau rugi, Del," ucap Olivia dengan nada terganggu.
"Iya deh, Liv."
Ponsel Adel berdering, memainkan nada dering pasaran yang memuakkan.
"Halo," Adel cepat-cepat mengangkat panggilan tersebut. Raut wajahnya terlihat muram begitu melihat nama penelponnya.
"Siapa, Del?" Tanya Olivia penasaran.
Adel tidak menjawab, ia tampak tengah mendengarkan suara di ujung telepon dengan amat seksama. Raut wajahnya kian detik kian gelap dan menyedihkan.
"Iya, gua ngerti kok, gapapa...." Air mata Adel menetes turun ke pipinya, membasahi tissue yang baru saja diambilnya.
"Del, Kenapa Del?" Olivia mulai cemas melihat sahabatnya itu menangis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lunatic
RomanceCinta adalah perasaan yang kompleks. Orang yang berakal sehat sekalipun terkadang dapat kehilangan akalnya karena Cinta. Bayangkan apa yang akan terjadi apabila seseorang yang tidak waras jatuh cinta. [Published on November 14th 2015 by dan_nakamura]