6

11.6K 840 123
                                    


Aku dan Gilang menyaksikan jalan seiring truk itu mulai melambat. Kita sebentar lagi sampai di tujuan, aku rasa. Aku agak kesal karena aku mulai bisa melahap buah merah sialan itu sebagaimana dua orang Asia di sebelahku melahapnya, dan kami sudah harus turun dari truk beberapa saat lagi.

Sesampainya aku dan Gilang di tempat manusia asing di Malaysia, kita disambut oleh tiga orang yang sa­lah satunya secara tiba-tiba berjalan cepat mengarah ke Gilang sambil mengangkat tinggi parang yang ia bawa di tangan kirinya. Aku reflek menegang dan mataku langsung membelalak.

Dengan cepat tiga orang yang tadi membawa kita di dalam truk menahan temannya yang terlihat marah menggebu-gebu. Aku bingung bukan main, berusaha pula untuk menenangkan walau aku tidak tahu apa yang mereka perdebatkan. Gilang sendiri hanya terdiam tak bergerak di belakang kami semua, tetapi parasnya tidak berubah—tidak pula takut.

Aku berusaha berbicara dengan bahasa Inggris yang begitu mudah, "Kenapa? Kenapa? Jangan khawatir. Jangan khawatir."

"Dia jahat! Dia jahat!" sahut orang yang membawa parang itu. Aku yakin hanya sampai sanalah kemampuan bahasa Inggrisnya.

Aku menengok kepada Gilang dan bertanya, "Apa yang telah kamu lakukan?"

Dengan santai, Gilang menjawab, "Meminjam truk dan bensin mereka."

"Meminjam?" aku akhirnya tahu betapa Gilang adalah seorang pembuat onar. Meminjam? Kenapa orang-orang ini justru marah? Pasti ia melakukan semua itu tanpa seizin orang-orang ini.

"Baiklah. Meminta tanpa izin. Lagipula, pom bensin di pulau besar ini banyak. Mereka dapat mencari bensin mereka lagi."

"Kamu yang terburuk."

"Aku waktu itu harus ke Filipina, Boris."

"Setidaknya kamu bisa minta izin, Gilang."

Tiga orang Malaysia yang tadi melerai teman pembawa parangnya kini berbalik arah untuk meleraikan aku dengan Gilang, dan berusaha untuk menegurku menggunakan bahasa mereka. Aku hanya bisa bilang "iya" dan "iya" berulang kali, tanpa mengerti bahasa mereka.

Gilang menerjemahkan kata-kata orang Malaysia ini, "Mereka bertanya kepadamu, apakah kamu kenal aku."

"Jelaskan ke mereka bahwa aku tidak mengenalmu selama yang mereka pikirkan." jawabku cepat. Gilang kemudian berbicara kepada orang-orang Malaysia itu, dan orang-orang Malaysia itu berkata kepadaku lagi dalam bahasa Malaysia mereka.

"Mereka bertanya apakah kamu percaya aku atau tidak. Tolong bilang percaya, karena kita tidak akan bisa ke Jakarta jika kita terperangkap bersama mereka di sini."

Awalnya aku tidak mau menuruti kemauan Gilang karena ia sudah melewati batas kali ini, tetapi aku berpikir akan sangat susah berada bersama mereka yang tidak mengerti bahasa Inggris. Akhirnya aku mengangguk ke arah orang-orang Malaysia ini.

Keadaan mereda untuk sementara, empat orang Malaysia itu kemudian berjalan menjauhi aku dan Gilang selagi menunjukan bahwa kita berdua harus mengikuti mereka.

Gilang kemudian berjalan di belakangku sambil berbisik, "Dengarkan baik-baik, Boris. Orang-orang ini tidak percaya orang-orang satu rumpun. Mereka lebih percaya denganmu karena kamu adalah seorang bule."

"Mengapa begitu?"

"Itu memang budaya orang-orang kami. Kami lebih menghormati orang asing daripada orang kami sendiri."

"Budaya yang aneh."

"Ini bukan Rusia. Ingat itu."

"Lalu kenapa kamu memberitahukan hal itu kepadaku?"

Bumi AsingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang