4

11.6K 894 89
                                    

Jadi, mencari bahan bakar untuk kapal itu benar-benar melelahkan dan memakan waktu yang lama. Sungguh.

Sudah berminggu-minggu Gilang dan aku mengelana di kota-kota di daerah Cagayan, dan walau memang kita menemukan bahwa banyak pom bensin yang mengandung bensin, memindahkan bensin tersebut ke dalam barel memerlukan kecerdikan dasar fisika. Tidak hanya itu, setelah semua bensin telah masuk ke dalam barel, memindahkannya dari pom bensin ke pelabuhan tempat kapal Gilang berada akan butuh waktu berhari-hari.

Untungnya, Gilang cukup teliti dalam mencari mobil yang masih berfungsi—setelah sebelumnya mati-matian mencari tahu bagaimana cara menyalakan mobil dan menggiring satu barel bensin ke mobil itu. Setelah satu mobil bobrok berfungsi, pemindahan barel-barel bensin pun bisa berjalan dalam waktu yang lebih singkat. Persetan jika kita berlebihan mengeksploitasi bensin yang masih ada. Yang penting lebihnya bisa kita timbun kalau-kalau kita perlu lagi. Sayang mobilnya tidak bisa sekalian kita bawa ke kapal—kapalnya ternyata kapal kecil, dan terletak jauh dari Cagayan: Quezon.

Quezon! Kita sungguh-sungguh melakukan perjalan dari utara ke selatan hanya untuk menuju kapal Gilang! Bahkan satu barel minyak habis untuk mobil bobrok yang membawa kita.

Sebenarnya aku pun heran dengan Gilang itu sendiri. Sudah hampir dua bulan kita bersama, tetapi Gilang tidak pernah mau bicara banyak tentang dirinya. Ia hanya selalu membahas tentang geologi seperti "Batu ini adalah batu andesit yang aku bawa dari pulau Jawa" atau tentang perjalanan seperti "Kalau kamu cukup teliti, di hutan sebelah kanan kamu bisa menemukan batu konglomerat raksasa" yang lagi-lagi membahas geologi. Ia selalu fokus mengerjakan apa yang harus dikerjakan dan batu-batunya, dan malah terkadang seperti membunyikan sesuatu. Mungkin memang tidak ada hal yang bisa ia ceritakan tentang dirinya, dan hanya batu-batunya yang penting untuk diceritakan.

Semakin hari, aku semakin terbiasa dengan sifat Gilang yang membuatku ingin menghajarnya habis-habisan. Tetapi, semakin hari, aku semakin bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di Filipina. Apakah Filipina diisolasikan oleh dunia? Tetapi, apa maksud Gilang tentang sudah tidak ada lagi orang di luar sana?

Gilang pun tidak membantu menjawab seluruh misteri ini. Apa yang aku dapat darinya hanyalah ilmu geologi yang melimpah dan beberapa lagu Indonesia yang biasa ia nyanyikan—ia bahkan tidak sungkan mengajariku bahasa Indonesia. Aku akui bahwa bahasa Inggrisnya memang bagus, tetapi dia tetap mau supaya aku berbicara dalam bahasa Indonesia. Seharusnya aku juga memaksanya berbicara dalam bahasa Rusia, tetapi hidup-matiku berada di tangannya saat ini. Lebih baik aku menurut dan memainkan skenarionya.

Setidaknya, walau manusia hanya ada dua orang, alam telah mengambil haknya kembali—dan ini menguntungkan. Gilang sangat pandai melempar pisaunya sehingga kita bisa bersantap kelinci dan ayam sebagai makan malam. Sayangnya diet kita tidak terlalu banyak karbohidrat.

Pada hari ke-82, persis ketika kita tiba di pelabuhan kecil di Quazon, aku dan Gilang memutuskan bahwa jumlah barel untuk mengisi bahan bakar kapal kecil kita sudah cukup beserta dengan cadangannya.

Aku sedikit ragu ketika melihat Gilang masih perlu membaca manual kapal. Apa benar ia bisa mengendarai kapal?

*****

Aku panik bukan main ketika ia menabrakan kapal ke pelabuhan. Walau itu tabrakan kecil, tetapi aku langsung meragukan bakatnya mengendarai kapal saat itu juga. Aku sampai berinisiatif sendiri membaca manual kapal dan mencoba membantu Gilang mengendarai kapal. Setidaknya pengetahuan astronomiku cukup berguna untuk menentukan ke mana kita perlu berlayar.

Selama pelayaran, kerjaku hanya memastikan aku dan Gilang masih mempunyai pasokan air bersih yang cukup dan juga makanan yang cukup. Aku pun sampai berinisiatif merakit jalar untuk menangkap ikan jika makanan tidak cukup.

Bumi AsingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang