Chapter 2

13.3K 822 21
                                    

Rio

Tidak sampai lima belas menit aku tiba di kampus, tiba-tiba saja salah seorang temanku berdiri dari duduknya dan berkata bahwa dosenku mendadak sakit dan kelas pagi akan ditiadakan. Hatiku semakin merasa jengkel setelah mendengar berita itu, bukannya merasa bahagia karena tidak ada kelas dan kuis, aku malah merasa semakin marah karena harus pergi ke kampus sepagi ini dan kelas pagi malah dibatalkan, aku merasa telah membuang waktu tidurku yang berharga.

Dengan kesal aku segera beranjak dari kelas dan pergi menuju mobilku yang tidak sampai dua puluh menit parkir di tempat parkir yang susah payah kudapatkan. Entahlah mengapa, pagi ini terasa begitu sial. Bisa-bisanya tempat parkir sudah penuh di pagi buta seperti ini ditambah lagi tadi aku kehabisan bensinku di tengah jalan dan sekarang kelas pagi dibatalkan dengan begitu mudah. Berapa kali sebetulnya orang bisa mendapatkan sial dalam satu hari? Selama ini aku menyangka bahwa satu kali sudah cukup. Dua kali kalau memang lagi sial sekali. Tapi hari ini aku memecahkan rekor dengan mendapatkannya tiga kali kesialan yang beruntun dalam tempo waktu yang berdekatan.

Aku masih terus menguap di sela-sela menyetir dan rasanya akan sangat berbahaya jika aku tetap memaksakan menyetir padahal kondisi hatiku sedang begitu kesal dan rasa kantuk seakan menyelimutiku. Daripada nanti aku mengalami kesialan keempat, akhirnya aku memutuskan untuk mampir di kafe terdekat dari kampusku, aku memasuki kafe itu dan segera mencari tempat duduk di pojok. Jendela besar yang berada di sampingku memberikan pemandangan yang membuat hatiku sedikit merasa lebih baik.

Tidak berapa lama, datanglah seorang pelayan membawakan buku menu, sebelum dia menyerahkan buku itu, aku sudah terlebih dahulu menyebutkan pesananku. Setidaknya aku sudah sering ke kafe ini dan aku sudah hafal dengan menu yang akan dia sodorkan. Pelayan itu tampak berlalu dan aku mulai mengeluarkan laptopku untuk memeriksa kembali proyek yang sudah membuatku dua hari tidak tidur. Black coffee yang kupesan tiba di mejaku dan aku secepatnya menyesap dan merasakan kafein yang membasahi tenggorokanku yang kering. Entah mengapa, aku mulai merasa gerah dan ketika kulirik, terpasang sebuah pesan yang berkata bahwa semua AC dalam kafe sedang dalam masa perbaikan dan mungkin siang hari baru bisa beroperasi dengan sempurna. Aku kembali mendengus kesal karena kesialan keempat telah mendatangiku.

Sekali lagi aku memfokuskan perhatianku pada layar laptop, tapi aku tetap mengalami masalah dalam berkonsentrasi. Bintik-bintik keringat mulai bermunculan pada keningku dan kaus yang kukenakan sudah lembap dan lengket ke punggung. Tubuhku yang lebih dari dua puluh tahun ini sudah terbiasa dengan suhu lebih dingin, mengalami masalah menyesuaikan diri dengan Jakarta yang panasnya setengah mati ditambah lagi AC kafe yang mati seperti ini. Aku bisa saja masuk ke dalam mobil dan menyalakan AC sekencang mungkin, tapi aku menolak menjadi orang yang suka membuang makanan. Karena kopiku belum habis dan makanan kecilku belum tersaji ditambah lagi rasa ngantuk masih melanda.

Lagi pula, aku adalah orang Indonesia keturunan bule yang tidak suka menjadi sok bule hingga tidak tahan dengan suhu panas di Indonesia padahal besar di Indonesia. Akhirnya aku memaksakan diri tetap duduk di kafe dengan AC yang mati dan memohon kepada Tuhan agar meniupkan angin entah dari mana untuk diriku sambil menunggu kentang goreng disajikan.

Tidak sampai lima menit kemudian aku menyerah setelah sadar keringat sudah menetes ke keyboard laptop. Ugh, gross!!! Buru-buru kulap keyboard itu dengan tanganku, tetapi malah keyboardku semakin basah sehingga aku harus mengelapnya dengan bagian bawah kausku sebelum menutup laptop dan mendorongnya ke tengah meja. Kuusap kedua mataku sambil mendesah panjang. "Ahh, mengapa hari ini sial sekali," gumamku sambil menggunakan lengan kaus yang kukenakan untuk menyeka keringat yang mengalir ke pelipis.

TIK... TOK... TIK... TOK.... Bunyi jam dinding semakin membuatku tidak nyaman. Meskipun aku dapat mendengar musik klasik di antara bunyi jam dinding itu, semuanya tidak bisa mengalahkan suara detak jantungku sendiri. Sambil pelan-pelan meminum kopi, sekali lagi kuperhatikan wanita yang duduk tidak jauh dari tempatku. Mengapa wanita itu memiliki senyum yang sangat indah? Pertanyaan itu terlintas sendiri di benakku dan dengan cepat aku menggelengkan kepalaku.

Hurt Me Or Heal Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang