Prolog

19 0 0
                                    

"Apa....??" Laki-laki itu tersentak kaget, kata-kata yang selama ini diharamkan oleh bibirnya berani meluncur mulus dari bibir tipis gadis yang dicintainya.
Apa ia tidak pernah berpikir bagaimana bibirnya selalu mengunci rapat-rapat kata-kata itu, mengharamkannya untuk didengar.

Ayolah mungkin saja dia sedang bercanda. Jiyoung mencoba menghibur diri. Sekali lagi, ia berharap.

"Aku tak bercanda.. aku ingin." Seolah-olah ia telah membaca pikiran laki-laki didepannya, gadis itu menggantungkan kata-katanya selama lima detik sebelum melanjutkannya.

Sebenarnya ia sendiri juga tak yakin dengan apa yang diucapkannya tadi, tapi ia tahu ini yang saharusnya dilakukan sebelum semuanya terlambat dan ia akan menyesal seumur hidupnya.

"Aku ingin kita berpisah. Kita akhiri saja semuanya." Katanya sekali lagi.

Kenapa..kenapa...kenapa.. lagi-lagi batinnya terguncang.

Pertanyaan itu menusuk-nusuk otaknya, seperti hujan yang tak mau berhenti. Apa ia sudah melakukan kesalahan, apa ia sudah menyakiti gadis yang dicintainya sepenuh hati itu.

Entahlah, laki-laki itu hanya diam dan terus memutar otaknya, mencoba mengingat kembali satu minggu terakhir yang terjadi diantara mereka.

Tidak ada... sungguh semuanya baik-baik saja, walau jujur ia memang agak sibuk akhir-akhir ini dengan semua jadwal latihan biolanya yang mulai menggila, tapi ia masih menghubungi Mika. Ya, gadis blesteran Jepang-Indonesia yang menjadi kekasihnya selama 2 tahun ini.

"Aku harap kau mengerti, ini bukan masalah tentang pihak ketiga atau jadwalmu yang mulai menggila, Tapi..." lagi-lagi Mika menggantungkan kalimatnya, dan membaca pikirannya.

"Tapi...." Mika menundukkan kepalanya seolah tak sanggup menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Sungguh ia merasa hancur hari ini, tak mudah baginya mengatakan itu. Apalagi dengan kondisinya sekarang dan Jiyoung yang hanya diam mematung menatap coklat panas di cangkirnya.

"Tapi apa...??" Tanya Jiyoung mengangkat kepalanya menatap tajam manik-manik hitam keabua-abuan di wajah Mika. Manik-manik itu sangat indah dengan gabungan kedua warna itu, tapi ada sedikit cairan yang menghalangi manik-manik itu tetap besinar seperti biasanya. Sangat tebal hingga mungkin saja memburamkan pandangan Mika. Mungkin satu kedipan saja cairan itu akan tumpah dan jatuh tanpa bisa ditahan lagi.
Jujur Jiyoung sangat terluka melihat itu, separuh hatinya tak henti-hentinya mengatakan Jangan jatuh.. jangan berkedip.. jangan menangis.

"Tapi, semua ini karena aku sudah tak bisa lagi mencintaimu. Aku benar-benar tak bisa...." Mika menarik nafas dalam-dalam dan melepaskannya dengan berat, sangat berat hingga Jiyoung dapat mendengarnya dengan jelas. Seperti sebuah beban yang sangat besar, Mika bahkan tak sanggup merebahkan tubuhnya di kursi lagi.

"Mencintaimu lagi." Lanjutnya dengan lebih lemah. Dengan aksen Jepangnya, suara Mika bergetar, bahkan gadis itu harus mengatup giginya kuat-kuat menahan getarannya.

Ya Tuhan.. hukuman apa yang akan Kau berikan kepadaku jika aku berbohong seperti ini. Mika berdebat dengan nuraninya.

"Maaf, Maafkan aku...." Bisik Jiyoung tak kalah lemah. Laki-laki itu kembali menundukkan kepalanya mencerna baik-baik ucapan Mika. Merasa dirinya seperti seorang tersangka, Jiyoung menerima kenyataan itu dengan pasrah. Tak pernah terpikirkan Mika akan merasakan itu di dekatnya, bersamanya. Padahal selama ini Mika terlihat bahagia, tersenyum indah bahkan tertawa lepas dengannya. Tapi ada satu hal yang tak pernah disadarinya. Ya, bagaimana mungkin perasaan seseorang bisa berubah begitu cepat. Itulah yang mengganggu hatinya saat ini.

"Baiklah aku tidak akan lagi mengganggumu." Jiyoung terdiam sesaat memikirkan dengan hati-hati kata-kata yang akan dikeluarkannya nanti, takut dia akan melukai lagi perasaan gadis itu meski ia tahu apa yang di keluarkan bibirnya pasti akan menyakiti Mika.

Meski ia tahu jawaban Mika bukanlah alasan yang sebenarnya, tapi apapun itu Jiyoung menghargai keputusan Mika mungkin saja itu baik untuk mereka berdua.

Demi Tuhan, kau tak pernah menggangguku, sampai saat inipun kau tak pernah melakukannya. Mika menangis, hatinya sakit. Kenapa kenyataan begitu menyakitkan.

"Terima kasih atas segalanya, semua yang kau berikan semua yang kau lakukan bahkan semua yang kau korbankan untukku dulu, Terima Kasih." Jiyoung terdiam lalu melanjutkan kembali kalimatnya yang menggantung.

"Dan maafkan aku jika hanya menjadi beban dihidupmu." Jiyoung mengepal tangannya dengan kuat, berusaha agar emosinya tak lepas saat itu juga.

Sungguh ia butuh sesuatu, apapun itu untuk melampiaskan semua sakit dihatinya. Namun rasa sakit yang lain lebih mengganggunya.

"Kenapa lagi ini...??" Dengan wajah pucat, Jiyoung mengelus kepalanya. Tapi hatinya tak kalah sakit hari ini.

"Aku pergi." Sambungnya lebih tegas. Jiyoung menarik kursinya ke belakang dan berdiri tegap sempurna menatap mata gelap didepannya untuk terakhir kalinya. sakit... Jiyoung berbalik dan berlalu meninggalkan Mika yang sedang terisak menahan tangis. Ia mendengarnya dengan jelas, sungguh. Tapi, ia tak bisa berbalik lagi, ia tak bisa lagi menghapus air mata Mika.

"Jangan pernah menangis sendirian." Lirihnya semakin menjauh.

Mika mulai menangis, isakkan itu tak tertahankan lagi. Ia tak peduli dengan orang-orang disekitarnya. Jiyoung pergi, dia telah pergi, bahkan punggungnya pun sudah tak tampak lagi.

Mika membenamkan kepalanya dengan kedua tangannya berharap suara tangisnya tak didengar siapapun. Hari ini ia begitu rapuh dan udara disini juga membuatnya lebih sesak lagi.

Beban..?? apa maksudnya itu. Aku tak pernah menganggap itu sebuah beban, aku melakukannya karena aku menginginkannya.

"Kecelakaan itu, kesakitanku, itu semua karena aku yang menginginkannya. Jiyoung." Tangis Mika menjadi-jadi, kenyataan ini membuatnya lebih hancur lagi.

Sebenarnya ia menangis bukan karena ia harus berpisah dengan Jiyoung, tapi karena kata-kata terakhir yang diucapkan Jiyoung tadi yang membuatnya tak bisa menahan air matanya.

"Oh Ji Young, Gomennasai.....!!!"

Love Is .......???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang