Kertas yang menumpuk di meja seakan berteriak memanggil untuk segera diselesaikan. Lembar demi lembar ia cermati sembari sesekali mencoret nomor dengan jawaban yang salah dan membubuhkan dua baris angka untuk setiap lembar soal yang telah ia teliti. Pekerjaan yang sebenarnya melelahkan namun tak bisa ditinggalkan.
Jari telunjuk dan ibu jari kanannya memijat pelan pangkal hidung. Menghilangkan sedikit rasa lelah dimata karena menatap lembar - lembar soal selama hampir satu jam. Jemari kanannya bergerak meraih segelas kopi hitam di sisi kiri. Beranjak menuju jendela besar di sisi sebelah kanannya. Membuka jendela membiarkan udara sore masuk menerpa wajah.
Kelam hitamnya berpendar menyusuri halaman sekolah didepan. Masih terlihat banyak siswa yang berada di sekolah. Beberapa sibuk bermain bola. Anggota klub softball yang tengah berlari mengelilingi lapangan. Siswa - siswa yang berjalan pulang menuju gerbang sekolah dan beberapa tampak hanya duduk sambil berbincang.
Pandangannya jatuh pada sepasang siswi yang tengah duduk di pinggir lapangan. Tak jauh dari tempatnya berdiri. Siswi dengan rambut panjang yang diikat ekor kuda -beberapa helai rambutnya berterbangan tak rapih, tampak diikat asal-asalan- asik mendengarkan senandung dari earphone yang tersemat di kedua telinganya. Sedangkan siswi lain -dengan rambut sebahunya yang terurai rapih- tersenyum menanggapi celoteh dari teman disebelahnya sambil sesekali membenahi letak kaca matanya. Detik berikutnya tawa keduanya meledak, entah apa yang tengah mereka tertawakan.
Sketsa itu seperti membangkitkan memorinya. Mengingatkan dia pada dua siswi di tempatnya mengajar dulu. Dua siswi yang mengetuk kehidupannya tanpa sopan, membuatnya tertawa, membuatnya merasakan perasaan yang tidak semestanya ia miliki pada muridnya. Hingga meninggalkan kesan yang sukar dihapus.
Kelamnya beralih kembali ke arah mejanya tepat di laci ke dua. Kaki membawa tubuh kembali ke meja kerjanya. Jemari membuka, mencari hingga tampak sebuah potret empat wajah yang terpatri jelas dalam ingatan. Tangan meraih menatap langsung pada senyum - senyum di potret.
Ia berdiri disana. Disamping kanannya berdiri gadis dengan rambut panjang yang diikat kebelakang sedang dikirinya berdiri gadis dengan rambut sebahu berkacamata. Mereka tersenyum, senyum lebar di hari kelulusan. Matanya fokus pada potret gadis disebelah kanannya... Marilyn.
Gadis dengan celoteh yang seakan tidak pernah habis keluar dari bibirnya yang merah. Gadis dengan senyum lebar yang menenangkan. Gadis dengan sejuta ekspresi di wajahnya. Gadis yang seperti permen lemon yang menyegarkan. Gadis yang membuat berhasil mendobrak semua pertahanan yang ia bangun.
"Mr. Kim, you can't have that feeling!! You know that, don't you."
Fokusnya beralih pada potret gadis disebelah kirinya. Kalimat tadi terus berulang dalam otaknya bak rekaman rusak. Kalimat yang Carra katakan di hadapannya dengan ekspresi kesal yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Satu bulan sebelum kekelulusan, menyadarkan siapa dia dan siapa Marilyn.
Ia tahu amat sangat tahu karena itu dia mundur perlahan. Menutup semuanya. Membuang jauh - jauh. Bersikap layaknya orang dewasa dengan topeng yang kian hari terasa kian berat. Lagipula ada seseorang yang sudah menggenggam hati gadis itu. Seseorang dalam potret yang berdiri tepat disebelah kanan Marilyn sambil menggenggam tangan gadis itu erat... Marcus.
Ia membalik potret di tangannya. Tampak sebaris kalimat yang ditulis rapih.
"Sensei... Sayonara"
Kelamnya tertutup.
Menarik nafas yang panjang.
Mengisi rongga dada.
Meredam segalanya.
Kelamnya terbuka bertabrakan dengan potret diri seorang putri dalam pelukan wanita di meja kerjanya. Keluarga kecilnya yang berharga.
Ia tersenyum kecil.
Tangannya membuka laci. Menyelipkan potret usang ke dalam laci di tempat yang sulit ia jangkau dan menutupnya. Menarik nafas, ia membereskan lembar soal yang belum tersentuh. Mengingatkan pada diri untuk melanjutkannya besok sebelum sepasang kakinya membawa tubuh ke luar ruang guru. Menapaki lorong kelas yang sepi, menyusuri lapangan sekolah yang kering. Kembali ke tempat yang selalu ia rindukan... rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewasa
Short StoryKetika kenangan hari muda terlintas. Yang ada hanya penyesalan.