Terkucilkan dan terhinakan, perasaan yang terus menghantui setiap relung kalbu, menggerogoti tipisnya kepercayaan diri. Bersembunyi dalam ketakutan tak berujung dan bertopengkan senyum palsu atas setiap penolakan yang datang.
***
Aku memasuki sebuah Balai Rehabilitasi atau Penanggulangan HIV/AIDS, tempat di mana adikku Sheena dirawat. Aku sangat merindukannya.
Aku melangkahkan kaki menuju kamar rawat Sheena, kamar dengan sebuah tulisan yang selalu membuat hatiku menangis 'ODHA Melati'. Adik kecilku mengidap penyakit mematikan itu, penyakit yang juga telah merenggut nyawa bunda.
Aku menyeka air mataku dan bergegas membuka pintu kamar, aku dapat melihat Sheena duduk membelakangiku sedang menatap ke arah luar jendela.
"Nana, kak Alin datang nih, bawain biskuit kesukaan Nana." Aku berusaha menyapa adikku dengan nada riang.
"Kak Alin," teriak Sheena sambil berlari kearahku dan langsung memelukku erat, sangat erat.
Aku tau dia sangat merindukanku, sebab sudah dua hari ini aku tak mengunjunginya karna pekerjaanku yang sangat menyita waktu.
"Kak Alin kemana aja sih?"
"Maafin kak Alin ya sayang, kak Alin lagi banyak kerjaan makanya baru bisa kunjungin Nana hari ini."
"Nana kangen sama kak Alin, Nana kira kak Alin ngga mau main lagi sama Nana," dia memberi jeda sejenak, sebelum mengatakan sebuah kalimat sakral yang menggetarkan relung hatiku. "Nana sayang Kak Alin, jangan tinggalin Nana."
Aku terdiam mendengar pernyataan Nana, aku kembali teringat akan mimpi buruk itu.
Flashback on...
"Bunda kamu meninggal karna mengidap HIV/AIDS, Lin?" Tanya salah seorang tanteku.
"Iya tante."
"Kalau begitu kamu dan Sheena harus periksa juga, jangan sampai kalian berdua tertular."
Aku yang saat itu masih berusia 18 tahun hanya bisa mengangguk dan menyetujui permintaan mereka. Namun, hasil pemeriksaan tersebut sangat mengejutkan kami semua. Aku beruntung karna dinyatakan negative, tetapi tidak dengan Sheena, adikku dinyatakan positif mengidap penyakit terkutuk itu.
Semenjak fakta tersebut terungkap, semua kerabat menjauhi Sheena seolah dia adalah sosok yang sangat menjijikkan, aku terpukul mendapati penolakan itu. Aku bertekad untuk merawat dan menjaga Sheena seorang diri, tanpa mengharapkan bantuan dari mereka yang 'katanya' saudara.
Saat itu Sheena sudah berusia lima tahun, aku menitipkan Sheena di salah satu Play Group yang berlokasi tak jauh dari rumah, karna aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.
Kehidupan kami berjalan lancar sejauh ini, hingga seseorang yag entah siapa menyebarkan informasi bahwa Sheena mengidap penyakit terkutuk itu. Sheena kembali mengalami penolakan yang kali ini berasal dari teman-temannya.
"Kak, kenapa sekarang ngga ada yang mau main sama Nana lagi?" Adikku mengajukan pertanyaan yang mengiris hatiku, membuat aku bungkam sesaat.
"Masa sih sayang? Nana disekolah cengeng ya, makanya temennya ngga mau main sama Nana?" Aku mencoba menjawabnya dengan nada jenaka.
"Nana ngga cengeng kak Alin." Sheena memasang wajah kesal, tak terima atas tuduhanku.
"Terus kenapa dong?" Aku kembali menggodanya dengan pertanyaanku.
"Katanya Nana sakit, jadi mama mereka ngga bolehin buat main sama Nana lagi." Sheena menuturkan hal itu dengan wajah sedih miliknya.
Aku terpaku mendengar penuturan Nana, seketika darahku berdesir menerka-nerka kemungkinan menyebarnya informasi penyakit Nana. Seingatku hanya pihak sekolah yang mengetahui dan berjanji untuk merahasiakan hal tersebut.
Aku menarik tubuh Nana ke dalam pelukanku dan mengelus puncak kepalanya, "Nana, jangan sedih ya, kan Nana bisa main sama kak Alin." Aku dapat merasakan kepala Nana yang mengangguk dalam dekapanku.
***
Akhirnya pihak sekolah memanggilku, aku tau mereka pasti akan membahas perihal menyebarnya informasi tersebut dikalangan orangtua murid.
"Alin, maafkan kami karna kami juga tidak tau siapa yang telah menyebarkan informasi tersebut," jelas salah satu pengurus play group padaku.
"Iya, saya mengerti Bu," Kuanggukkan kepalaku dan kusunggingkan sedikit senyum untuk mencairkan suasana yang sedikit kaku.
"Begini Alin, orangtua murid melakukan protes pada kami dan meminta kami untuk mengeluarkan Sheena," kucoba menelaah maksud perkataannya.
"Mengeluarkan Sheena? Tapi kenapa, Bu?" Aku sedikit kaget dengan keputusan sepihak yang sangat tidak bijak itu. Aku butuh alasan yang logis.
"Mereka takut anaknya tertular, kami tidak bisa berbuat apa-apa Alin. Tapi kami mengusulkan agar Sheena dimasukkan ke Balai Rehabilitasi HIV/AIDS saja. Kalau kamu bersedia, kami memiliki kontaknya," ujar ibu itu dengan wajah bersalah dan tak enak hati.
"Baiklah, terima kasih. Sampaikan maaf saya kepada orang tua murid di sini dan satu lagi, katakan pada mereka bahwa penyakit itu tidak akan menular hanya dengan bersentuhan atau bermain dengan adik saya. Adik saya bukan monster," aku mencoba mengeluarkan unek-unekku dengan bahasa yang cukup sopan.
"Maafkan kami Alin," ujarnya.
Aku menganggukkan kepalaku tanda mengerti.
"Tidak apa, Bu. Saya permisi. Sekali lagi terima kasih." Aku bangkit berdiri dan menyalami mereka, sebelum akhirnya pamit pulang.
Aku pun melangkah keluar dari lingkungan sekolah tersebut. Aku tak habis pikir dengan apa yang orang tua murid itu pikirkan. Sheena bukan monster, kenapa mereka begitu ketakutan dan menolak kehadirannya?
Flashback off...
Mangingat kejadian itu kembali membuat dadaku bergemuruh, perasaan kecewa atas penolakan itu terus menghantuiku. Aku memeluk Sheena erat, untuk meredam kekecewaanku.
Kehangatan peluknya selalu berhasil menenangkanku, rasanya tak adil setiap aku tersadar bahwa pemilik pelukan ini adalah adik kecilku yang mengidap penyakit terkutuk itu. Bagaimana bisa, adik kecilku yang berwajah malaikat mengalami semua ini?
Aku merasa tak berdaya, tapi aku tak boleh menunjukkan hal itu. Sheena pantas berbahagia di sisa umurnya, aku hanya ingin mengukir senyuman di wajah polosnya. Kebahagiaannya adalah prioritas utamaku, karna dialah tujuan hidupku.
***
Dosakah menjadi "Orang Dengan HIV/AIDS?"
ODHA bukanlah monster, mereka hanyalah orang kurang beruntung yang terkena imbas dari kesalahan mereka sendiri atau kesalahan orang lain. Itu bukanlah keinginan mereka, karna tak ada seorang pun di dunia ini menginginkan penyakit terkutuk itu.
Lalu, pantaskah kita menghakimi mereka? Haruskah kita mengucilkan, menjauhi, mengejek, bahkan memandang hina pada mereka? Jawabannya: TIDAK. Mereka juga pantas hidup sebagaimana mestinya, mereka butuh kekuatan dan dukungan untuk berjuang memperoleh kesembuhan. Mereka butuh penerimaan dan alasan untuk hidup, karna setidaknya masih ada yang mengharapkan kehadiran mereka di dunia fana ini.
END.
Novi Badni Harefa
Jakarta Barat
Rabu, 2 Desember 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Kehidupan
ContoSetiap peristiwa yang terjadi, pasti ada alasan dan makna dibaliknya, juga memiliki dua sisi positif dan negatif. Begitu pula dengan setiap orang yang mengalaminya, ada yang berterima dan menolak. Lain lagi dengan mereka yang menjadi penonton akan p...