Part Satu

293 10 0
                                    


Suara dan petikan gitar itu membuat Rinni menoleh. Ia menatap sahabatnya sejak kecil dengan wajah menahan tawa. Jevin. Seorang lelaki yang sudah dekat dengan Rinni sejak usia mereka tujuh tahun. Rinni yang terkadang manja sangat nyaman dengan sosok Jevin yang ramah, asik, walaupun kelakuannya kerap kali usil dan membuat Rinni jengkel, tapi Jevin adalah sosok sahabat serta abang yang terbaik untuk dirinya.

"Lo apaan sih Jev, masa lagunya begituan." Rinni tertawa geli, ia meletakkan satu diktat kuliahnya dimeja. Keduanya sedang berada di balkon rumah Rinni, menikmati sejuknya udara setelah hujan. Rasa dingin pun menyeruak ketika gerimis kecil masih setia membasahi bumi.

"Biarin kek Ngil, ini curahan hati gue tau!" Dengusnya, tangan besar itu masih saja memainkan melodi sebuah lagu yang memang cukup booming saat ini.

Kita teman dekat. Sudah saling percaya.

Cerita tentang kamu, sudah menjadi makananku.

Putus lagi.. Nyambung lagi.. Ribut lagi.. Balik lagi..

Kau menangis dipundakku. Dipelukkanku.

Maafkan aku jadi suka sama kamu, Awalnya curhat lama-lama ku cemburu.

Maafkan aku yang mengharapkan cintamu. Bila belum saatnya kusabar menunggu.

Bila masih bersama, ku tunggu kau putus.

Rinni lagi-lagi tergelak mendengar suara sengau Jevin yang menyanyikan lagu itu. Lagu tentang dimana seseorang menunggu yang lainnya putus. Gadis berambut melebihi bahu itu menggeleng masih dengan gelakannya.

"Lo apaan sih! Lagunya nggak banget! Nunggu siapa putus? Kok lo nggak cerita sih Jev? Oh, main rahasia-rahasiaan sama gue?" Tuduh Rinni, Jevin menghembuskan nafas kasar.

"Lo kan sibuk," Tangan Jevin masih saja memetik senar gitarnya. Rinni tersenyum polos. Akhir-akhir ini ia memang jarang meluangkan waktu untuk bersama sahabatnya yang satu ini.

"Kan hari ini gue nggak sibuk. Ayo cerita," Papar Rinni. Gadis itu benar-benar menutup diktat kuliahnya dan menarik bangku untuk duduk dihadapan Jevin.

Jevin cukup kaget, sudah hampir dua minggu-terhitung Rinni yang kembali berbaikan dengan kekasihnya itu-Mereka tidak mengobrol. Jangankan mengobrol, untuk sekedar Say hi saja Jevin sulit. Rinni selalu sibuk dengan kekasih barunya. Siapa lagi kalau bukan ketua Basket dikampus mereka.

Wajah cantik dan mungil serta menggemaskan itu selalu mengganggu hari-harinya. Sosok Rinni kecil yang cengeng dan menyebalkan kini sudah bertransformasi menjadi sesosok gadis cantik dengan postur tubuh mungil dan menyenangkan. Wajar kalau hampir seluruh lelaki di kampus menyukai Rinni.

"Bentar lagi juga cowok lo nelfon terus ngajak pergi." Papar Jevin jengkel, Rinni tersenyum polos dan menjitak lengan Jevin.

"Ish apaan sih jev, masa gitu aja ngambek. Tenang, selama satu minggu ini dia lagi tournament basket di Surabaya, jadinya lo bisa ngabisin waktu sama gue terus." Ujar Rinni dengan menaik-turunkan alisnya jahil. Jevin mencibir pelan.

"Jadinya lo ngabisin waktu sama gue karena si Mahesa tercinta lo lagi pergi? Selebihnya nggak." Dengus Jevin lagi. Rinni tergelak geli mendengar ucapan Jevin yang sarat kecemburuan.

"Lo cemburu jev? Kok jadi baper gini sih?" Lagi-lagi Rinni tidak bisa berhenti tertawa geli. Jevin mendengus pelan, ia menaruh gitar yang sedari tadi dipangkunya itu kelantai.

"Siapa yang cemburu? Males. Udah ah gue mau balik, masih ada tugas." Katanya datar, Rinni tertawa geli. Ia yakin kalau Jevin mulai cemburu. Rinni melihat Jevin yang keluar dari rumahnya, mata coklat gadis itu masih menatap penuh rasa geli.

Our Destiny (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang